Tampilkan postingan dengan label Kolom. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kolom. Tampilkan semua postingan

Sindikat atau Masyarakatnya?

Sampai dengan tahun lalu, orang yang menyalahgunakan Narkoba berjumlah 4,3 juta jiwa. Setiap harinya, ada sekitar 41 orang meninggal karena Narkoba.

Saat ini, shabu atau ekstasi pun tidak lagi diimpor, tapi sudah bisa dibuat di dalam negeri. Pabriknya, bukan di tempat terpencil, tapi di perumahan, ruko, atau apartemen yang notabenenya dekat dengan masyarakat.

Sudah beberapa kali polisi berhasil menggerebek pabrik Narkoba yang berlokasi di daerah pemukiman. Di Jakarta Barat, bisa disebutkan Ruko Palem Lestari, Cengkareng, yang dijadikan pabrik Narkoba dengan berkedok Warnet atau Perumahan Taman Ratu, Kebon Jeruk, yang dikamuflase menjadi pabrik dengan jaringan internasional.

Sindikat pengedar Narkoba juga tidak lagi memilih tempat pembuatan yang diasumsikan kebanyakan orang sebagai tempat yang “aman”. Mereka memanfaatkan kelengahan konsentrasi aparat keamanan dan berani berspekulasi dengan mendirikan pabrik di tengah masyarakat.

Sepertinya, pergeseran sistem sosial yang ada di masyarakat dimanfaatkan oleh sindikat tersebut. Masyarakat yang individualis dan bersikap toleran tidak pada tempatnya, adalah lokasi yang bagus untuk pembuatan dan pengedaran Narkoba. Pembatas kegiatan kriminal mereka bukan lagi tembok dan pagar yang tinggi, tapi sifat individual dan ego masyarakatlah yang dijadikan border mereka dalam beroperasi.

Makanya, sering kali ketika terungkap pabrik pembuatan yang ada di wilayah pemukiman, banyak masyarakat sekitarnya yang terkejut. Merasa heran, tidak tahu, dianggap tidak masuk akal. Bahkan, pengurus RT dan RW pun ada yang kebobolan mengindentifikasi warga yang tinggal di wilayahnya.

Begitu juga dengan peredaran dan pengguna Narkoba. Peran serta masyarakat menjadi salah satu kunci pencegahan dan pemulihan para pengguna agar berhenti mengonsumsi Narkoba. Meski ada aparat keamanan, tapi bila masyarakat ikut andil, maka hasilnya akan lebih maksimal.

Melihat fenomena di atas, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) menggelar “Festival Kampung Kite Bersih Narkoba” mulai 12 Oktober hingga 22 Desember 2009. Festival ini kira-kira diikuti oleh 2.671 RW yang tersebar di lima wilayah ibu kota.

Penilaian dari lomba tersebut ada dua macam, yaitu dilihat dari sisi kuantitas dalam upaya menanggulangi Narkoba di lingkungannya serta kualitas warga di lingkungan RW tersebut yang bersih dari jeratan Narkoba. Pengawasannya akan dilakukan Badan Narkotika Provinsi (BNP) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan melibatkan LSM bidang pencegahan Narkoba.

Ujung tombak pelaksanaan festival ini adalah organisasi karang taruna di setiap wilayah. Remaja yang biasanya menjadi korban, dijadikan “senjata” untuk memantau peredaran dan pengguna Narkoba. Mereka (remaja) dituntut kreatif dalam membuat program pencegahan peredaran dan menghapus Narkoba dari wilayahnya.

Bila program ini memang benar-benar berjalan, berarti setiap RW di Jakarta akan memiliki data yang akurat pengguna Narkoba. Setidaknya, akan terpantau wilayah mana saja yang kira-kira menjadi kantong-kantong pengguna “barang setan” ini. Sehingga tindakan pencegahan, rehabilitasi, dan sosialisasi dampak negatif Narkoba akan lebih tepat sasaran.

Cuma masalahnya, bagaimana pelaksanaan di wilayah yang tidak ada karang taruna dengan remajanya yang pasif? Bagaimana dengan daerah yang masyarakatnya individualis seperti disebutkan di atas? Paling-paling, festival ini hanya menjadi seremoni belaka atau sama halnya dengan kampanye anti-Narkoba lainnya, tanpa mengubah cara bersikap masyarakat dalam manangani masalah ini. Meski nantinya akan ada pemenang, tapi sepertinya bukan itu tujuan utama dari “Festival Kampung Kite Bersih Narkoba”.

Memang, segi positif memberdayakan remaja adalah menanamkan pada mereka –yang kebanyakan menjadi korban- untuk menghindari mengonsumsi Narkoba, tapi ada baiknya juga dibarengi dengan penataan kembali sistem sosial di masyarakat dan mengaktifkan kegiatan warga.

Misalnya, bila tidak ingin kerja bakti atau arisan warga, bagi mereka yang mengaku super sibuk, bisa membuat milist warga atau grup Facebook di internet yang digagas ketua RT/RW setempat. Hal tersebut juga sekaligus menyikapi perkembangan teknologi dan peradaban manusia.

Dari aktivitas online tersebut, akan terjalin tali silaturahim dan yang lebih penting adalah informasi lingkungan dan warga yang menempati wilayah. Sehingga kalau ada hal yang mencurigakan dalam satu lingkungan, warga bisa mengambil sikap dan melaporkan pada pihak berwajib.

Pada dasarnya, masyarakat juga tidak mau kalau wilayahnya dicap buruk atau menjadi sarang peredaran Narkoba. Tapi, di sini sepertinya harus ada ide yang lebih kreatif untuk memberantas Narkoba di lingkungan masyarakat. Bukan sekedar festival atau perlombaan yang hanya mencari pemenang.


Read More ..

Sindikat atau Masyarakatnya?

Sampai dengan tahun lalu, orang yang menyalahgunakan Narkoba berjumlah 4,3 juta jiwa. Setiap harinya, ada sekitar 41 orang meninggal karena Narkoba.

Saat ini, shabu atau ekstasi pun tidak lagi diimpor, tapi sudah bisa dibuat di dalam negeri. Pabriknya, bukan di tempat terpencil, tapi di perumahan, ruko, atau apartemen yang notabenenya dekat dengan masyarakat.

Sudah beberapa kali polisi berhasil menggerebek pabrik Narkoba yang berlokasi di daerah pemukiman. Di Jakarta Barat, bisa disebutkan Ruko Palem Lestari, Cengkareng, yang dijadikan pabrik Narkoba dengan berkedok Warnet atau Perumahan Taman Ratu, Kebon Jeruk, yang dikamuflase menjadi pabrik dengan jaringan internasional.

Sindikat pengedar Narkoba juga tidak lagi memilih tempat pembuatan yang diasumsikan kebanyakan orang sebagai tempat yang “aman”. Mereka memanfaatkan kelengahan konsentrasi aparat keamanan dan berani berspekulasi dengan mendirikan pabrik di tengah masyarakat.

Sepertinya, pergeseran sistem sosial yang ada di masyarakat dimanfaatkan oleh sindikat tersebut. Masyarakat yang individualis dan bersikap toleran tidak pada tempatnya, adalah lokasi yang bagus untuk pembuatan dan pengedaran Narkoba. Pembatas kegiatan kriminal mereka bukan lagi tembok dan pagar yang tinggi, tapi sifat individual dan ego masyarakatlah yang dijadikan border mereka dalam beroperasi.

Makanya, sering kali ketika terungkap pabrik pembuatan yang ada di wilayah pemukiman, banyak masyarakat sekitarnya yang terkejut. Merasa heran, tidak tahu, dianggap tidak masuk akal. Bahkan, pengurus RT dan RW pun ada yang kebobolan mengindentifikasi warga yang tinggal di wilayahnya.

Begitu juga dengan peredaran dan pengguna Narkoba. Peran serta masyarakat menjadi salah satu kunci pencegahan dan pemulihan para pengguna agar berhenti mengonsumsi Narkoba. Meski ada aparat keamanan, tapi bila masyarakat ikut andil, maka hasilnya akan lebih maksimal.

Melihat fenomena di atas, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) menggelar “Festival Kampung Kite Bersih Narkoba” mulai 12 Oktober hingga 22 Desember 2009. Festival ini kira-kira diikuti oleh 2.671 RW yang tersebar di lima wilayah ibu kota.

Penilaian dari lomba tersebut ada dua macam, yaitu dilihat dari sisi kuantitas dalam upaya menanggulangi Narkoba di lingkungannya serta kualitas warga di lingkungan RW tersebut yang bersih dari jeratan Narkoba. Pengawasannya akan dilakukan Badan Narkotika Provinsi (BNP) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan melibatkan LSM bidang pencegahan Narkoba.

Ujung tombak pelaksanaan festival ini adalah organisasi karang taruna di setiap wilayah. Remaja yang biasanya menjadi korban, dijadikan “senjata” untuk memantau peredaran dan pengguna Narkoba. Mereka (remaja) dituntut kreatif dalam membuat program pencegahan peredaran dan menghapus Narkoba dari wilayahnya.

Bila program ini memang benar-benar berjalan, berarti setiap RW di Jakarta akan memiliki data yang akurat pengguna Narkoba. Setidaknya, akan terpantau wilayah mana saja yang kira-kira menjadi kantong-kantong pengguna “barang setan” ini. Sehingga tindakan pencegahan, rehabilitasi, dan sosialisasi dampak negatif Narkoba akan lebih tepat sasaran.

Cuma masalahnya, bagaimana pelaksanaan di wilayah yang tidak ada karang taruna dengan remajanya yang pasif? Bagaimana dengan daerah yang masyarakatnya individualis seperti disebutkan di atas? Paling-paling, festival ini hanya menjadi seremoni belaka atau sama halnya dengan kampanye anti-Narkoba lainnya, tanpa mengubah cara bersikap masyarakat dalam manangani masalah ini. Meski nantinya akan ada pemenang, tapi sepertinya bukan itu tujuan utama dari “Festival Kampung Kite Bersih Narkoba”.

Memang, segi positif memberdayakan remaja adalah menanamkan pada mereka –yang kebanyakan menjadi korban- untuk menghindari mengonsumsi Narkoba, tapi ada baiknya juga dibarengi dengan penataan kembali sistem sosial di masyarakat dan mengaktifkan kegiatan warga.

Misalnya, bila tidak ingin kerja bakti atau arisan warga, bagi mereka yang mengaku super sibuk, bisa membuat milist warga atau grup Facebook di internet yang digagas ketua RT/RW setempat. Hal tersebut juga sekaligus menyikapi perkembangan teknologi dan peradaban manusia.

Dari aktivitas online tersebut, akan terjalin tali silaturahim dan yang lebih penting adalah informasi lingkungan dan warga yang menempati wilayah. Sehingga kalau ada hal yang mencurigakan dalam satu lingkungan, warga bisa mengambil sikap dan melaporkan pada pihak berwajib.

Pada dasarnya, masyarakat juga tidak mau kalau wilayahnya dicap buruk atau menjadi sarang peredaran Narkoba. Tapi, di sini sepertinya harus ada ide yang lebih kreatif untuk memberantas Narkoba di lingkungan masyarakat. Bukan sekedar festival atau perlombaan yang hanya mencari pemenang.

Read More ..

Menasbihkan Maaf dan Mudik Sebagai Kultur

Tahun lalu, dan mungkin tahun ini juga, banyak orang bersalaman meminta maaf setelah sholat Ied. Menurut sebagian besar masyarakat, peleburan dosa akan lengkap setelah kita saling bermaafan secara horisontal -sesama manusia.

Bukan hanya dalam lingkup rukun tetangga atau rukun warga, tradisi saling bermaafan ini pun sudah berakar dalam tatanan keluarga. Anak meminta maaf pada orang tuanya, adik saling bermaafan dengan kakak dan saudara lainnya, adalah seremoni yang kerap terjadi di saat Lebaran.

Ditemani berbagai penganan seperti kue kering dan minuman beraneka warna, masyarakat banyak yang seperti berpesta pada hari itu. Merayakan kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa. Belum lagi sajian menu masakan khas seperti ketupat yang ditemani dengan opor ayam atau daging rendang. Sungguh, hari itu merupakan hari terindah dalam satu tahun berlalu.

Kebiasaan ini sudah lama dilakukan masyarakat Islam di Indonesia. Tidak tahu kapan dimulainya. Meski tidak ada hadits atau ajaran nabi Muhammad SAW yang menganjurkannya, tapi saling bermaafan saat Lebaran terus dilakukan sebagai rutinitas yang dianggap sakral.

Padahal, akibat kebudayaan itu, setiap menjelang Lebaran, harga-harga sembilam bahan pokok pasti naik karena tingginya permintaan pasar. Belum lagi adanya “tekanan” secara komunal untuk membeli dan menggunakan yang serba baru. Misalnya, menggunakan pakaian baru, sepatu baru, bahkan mobil, atau rumah baru.

Akibatnya, masyarakat pun menjadi lebih konsumtif dibanding hari-hari biasa. Bahkan, cenderung bertindak boros. Celakanya, trend ini dilakukan secara masif dalam waktu yang relatif bersamaan. Sehingga menimbulkan multipel efek seperti membludaknya orang di pusat perbelanjaan atau lubernya kendaraan di jalan-jalan yang menyebabkan kemacetan luar biasa.

Fenomena ini belum termasuk tradisi mudik yang banyak dilakukan masyarakat Jakarta. Bagi masyarakat pendatang, mudik saat Lebaran adalah keharusan. Mereka rela meski harus mengantri tiket transportasi sampai berhari-hari, bersabar di tengah kemacetan Jalur Pantura, atau menahan pegal karena harus membonceng anak istri dengan sepeda motor.

Semua itu mereka lakukan karena ingin bersilaturahim dan saling bermaafan di kampung halaman. Sadar atau tidak, apa yang mereka lakukan adalah hanya mengikuti tradisi, kultur, budaya yang dibuat oleh masyarakat sebelumnya. Kebiasaan saling memberi maaf yang seharusnya tidak hanya pada saat Lebaran, dikultuskan menjadi fatwa wajib. Padahal kata maaf bisa saja diberi atau diterima kapan saja, tidak harus menunggu Lebaran.

Bukan bermaksud mengharamkan tradisi “maaf” atau “pulang kampung” dalam Lebaran, tapi coba kita lihat dari sisi yang lebih baik. Apakah harus pulang mudik bersama istri dan anak berumur 2 tahun sementara tiket kereta api harganya melonjak 2 kali lipat dari biasanya dengan penumpang penuh sesak? Apakah harus pulang kampung mengendarai sepeda motor dengan mengorbankan kondisi badan kita karena harus menempuh jarak yang jauh? Belum lagi resiko kecelakan yang kerap menghantui di jalan.

Kondisi alat transportasi dan infrastruktur jalan sepertinya juga belum memungkinkan masyarakat berpergian secara bersamaan. Apalagi kalau dibanding dengan jumlah pemudik. Alih-alih mendapat kondisi yang nyaman, mendapat tempat duduk di kereta api atau bis saja, sudah terbilang untung.

Dalam prakteknya, esensi bulan Ramadhan yang identik dengan berpuasa dan sholat Taraweh pun seperti dinomerduakan. Kewajiban dalam berpuasa sering ditinggalkan dengan alasan karena harus berpergian jauh.

Memang, ada adrenalin tertentu menyelubungi masyarakat yang hijrah ke kampung halaman. Sehingga mereka tak menghiraukan hal tersebut, bahkan terus diulang dari tahun ke tahun. “Sengsara” di perjalanan, mereka ubah menjadi perasaan senang dan bahagia.

Secara logis, kita juga tidak akan mengerti kebiasaan tersebut, tapi itulah yang terjadi dalam kultur masyarakat Islam di Jakarta maupun Indonesia. Bila masyarakat (yang biasa pulang kampung-bermaafan saat Lebaran) tidak melakukan hal tersebut, mereka seperti merasa salah, melanggar tradisi, dan “berdosa” pada masyarakat.

Benar apa yang dikatakan Alasdair MacIntyre dalam After Virtue (1981), dia mencoba menunjukkan bahwa moralitas hanya dapat diberi pendasaran dengan mangacu pada tradisi-tradisi historis dengan kebiasaan-kebiasaan etis dan pandangan teleologis tertentu. Tidak ada moralitas an sich, yang ada hanyalah moralitas-moralitas menurut (tradisi atau komunitas) tertentu. Moralitas dipelajari lewat cara hidup komunitas tertentu.

MacIntyre juga mengatakan, apa yang saya pelajari sebagai pedoman tindakanku dan tolok ukur penilaiannya tak pernah moralitas sendiri, melainkan selalu sebuah moralitas sangat khas dalam tatanan sosial sangat khas.

Artinya, segala tindakan, kebiasaan yang dianggap benar adalah yang biasa atau sering dilakukan kebanyakan masyarakat/komunitas. Kita tidak bisa membuat/menilai tingkah laku atau perbuatan yang baik tanpa campur tangan dari masyarakat/komunitas.

Sama halnya dengan saling bermaafan saat Lebaran dan pulang mudik di atas, tradisi tersebut sudah menjadi moralitas yang sangat khas dalam tatanan sosial yang khas pula. Tidak bisa disangkal, meski sejatinya puasa dan Lebaran adalah aturan vertikal, tapi hal tersebut sudah terikat dengan tradisi masyarakat yang sepertinya malah lebih dominan mengatur masyarakat.

Read More ..

Apa Pentingnya Beriklan di Media Komunitas?

“Mati satu, tumbuh satu lagi”, satu toko ditutup, tidak lama setelahnya, akan ada toko lain yang coba mengais rejeki di tempat yang sama.

Perkembangan dunia usaha di beberapa wilayah seperti Serpong, Pluit, Muara Karang, Kembangan, dan Kebon Jeruk, tidak terlihat surutnya. Meski banyak yang gulung tikar, tidak membuat pengusaha-pengusaha lokal bergeming untuk merintis usaha.

Arti pengusaha lokal dalam tulisan ini adalah mereka yang coba menyediakan kebutuhan masyarakat di suatu daerah tertentu yang boleh kita sebut sebuah komunitas. Misalnya pemilik toko atau restoran di sepanjang Jalan Pesanggrahan, Kembangan, Jakarta Barat. Mereka adalah pengusaha lokal yang memiliki segmentasi pasar yang lebih menyudut pada masyarakat yang tinggal di sekitar tempat usahanya. Sebut saja masyarakat yang tinggal di Perumahan Taman Aries, Puri Indah, atau masyarakat Srengseng.

Begitu juga dengan beragam usaha di sepanjang Jalan Muara Karang Raya, Jakarta Utara, target audiens mereka tidak lain adalah masyarakat yang tinggal tidak jauh dari jalan tersebut. Terutama mereka yang tinggal di beberapa perumahan mewah di komunitas itu.

Semakin terkonsentrasinya pembangunan properti tempat tinggal dan bisnis di satu wilayah, seakan menciptakan teritorial tersendiri bagi masyarakatnya. Tingkat kepadatan lalu-lintas dan kesibukan masing-masing individu pun turut membuat masyarakat semakin inklusif. Pesatnya perkembangan di masing-masing komunitas, membuat mereka tidak perlu lagi berjalan jauh mencari kebutuhan hidup. Cukup di sekitar tempat tinggalnya.

Fenomena ini, semakin terasa ketika kita melihat wilayah Serpong, Tangerang. Daerah pinggiran Jakarta ini dikatakan sebagai kota satelit yang mampu mandiri memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Lihat saja di sepanjang Jalan Raya Serpong. Beratus-ratus ruko berdiri di jalan tersebut. Pengusaha-pengusaha lokal di sana tidak berharap konsumen dari Jakarta Utara yang sengaja datang hanya untuk membeli sepiring nasi goreng sebagai sarapan paginya. Tapi, mereka lebih berpikir pada pemenuhan kebutuhan masyarakat yang tinggal di Perumahan Bumi Serpong Damai, Alam Sutera, atau Villa Melati Mas.

Media Komunitas
Pengusaha lokal boleh bermimpi mendapat pembeli dari orang-orang sekitarnya atau mengharap lalu-lalang kendaraan di depan tempat usaha. Tapi, hal itu saja tidak cukup, mereka membutuhkan “corong” untuk mengenalkan produk dan jasanya pada masyarakat. Dibutuhkan sebuah media massa yang tepat dan memiliki target pembaca sama dengan target pasar mereka. Tidak bisa hanya mengandalkan “traffic jalanan”, namun harus pula didukung dengan cara mengiklankan diri.

Beriklan, langkah inilah yang harusnya dipertimbangkan pengusaha lokal. Bagaimana masyarakat tahu kalau produk yang dijual tidak diinformasikan? Bagaiman brand sebuah produk bisa diketahui khalayak ramai kalau tidak pernah diiklankan? Dengan beriklan, mereka bisa memengaruhi pikiran orang lain tentang produk yang dijualnya. Hanya dengan iklan, pengusaha lokal bisa memenangkan persaingan antar produk di pasaran.

Memang, ada biaya yang harus dikeluarkan, tapi besarannya bisa dihitung sebagai sebuah investasi. Terkadang, masih banyak pengusaha lokal yang urung beriklan karena melihat besaran rupiahnya. Padahal, advertising itu tidak bisa dianggap sebagai produk yang dibeli, lalu dijual, dan langsung mendapat untung. Iklan merupakan investasi jangka panjang yang manfaatnya tidak bisa langsung dirasakan sekejap mata.

Dalam penempatan iklan, pengusaha lokal harus menghitungnya dengan matang. Seperti telah disebutkan, ketahuilah target pasarnya agar tepat memilih media untuk beriklan. Bila target pembeli adalah masyarakat di wilayah tertentu, ada baiknya beriklan di media komunitas yang target pembacanya sama.

Media komunitas adalah media lokal yang memiliki karakteristik berbeda dengan media nasional. Target pembacanya, masyarakat di mana media komunitas itu berdiri. Bila ada media komunitas di wilayah Puri Indah, berarti target pembacanya adalah masyarakat yang tinggal di Puri Indah dan sekitarnya. Dengan begitu, target pembacanya sama dengan target pasar pengusaha lokal di wilayah tersebut.

Di sinilah titik temu pengusaha lokal dan media komunitas, tingkat penetrasi pemasangan iklan di media komunitas akan lebih tinggi karena ada kesamaan target. Apalagi kebanyakan media komunitas bersifat gratis. Diberikan cuma-cuma agar jumlah pembacanya tidak terbatas hanya pada siapa yang membeli media tersebut. Artinya, jumlah pembaca tidak berkurang setiap kali penerbitan.

Hanya saja, perlu dipahami bahwa tingkat efektifitas beriklan juga ditentukan oleh kebutuhan masyarakat pembacanya. Bila masyarakat sedang membutuhkan produk yang diiklankan, dampak pemasangan iklan akan sangat terasa. Tapi, ketika tidak dibutuhkan, pemasangan iklan jangan diartikan sebagai tindakan “buang-buang duit”.

Read More ..

Memahami Skenario Pintar dan Licik

Karena panas yang menyengat, saya sempatkan mampir ke sebuah warung di pinggir jalan. Selepas parkir, teh botol menjadi pesanan saya pada pemilik warung.

Saat itu, bukan hanya saya, tapi ada beberapa orang lain yang juga sedang menghindari teriknya matahari. Seperti biasa, selain melepas dahaga, mereka sering kali melepas obrolan pada temannya mengenai pekerjaan yang dilakoni. Entah itu sekedar cerita tentang bosnya yang pelit atau mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi.

Setengah menguping, saya mendengar, “pinter juga, luh. Kalo tau caranya kaya gini, kenapa ngga kasih tau dari dulu!” Sambil tersenyum, orang yang satunya membalas dengan nada berbangga, “kalo ngga gini, dari mana dapet tambahan!”

Setengah melirik, saya pun melihat ada beberapa berkas yang sepertinya sedang mereka manipulasi. Entah itu nilainya atau peruntukkannya. Mereka mengutak-atik sampai hasilnya terbilang masuk akal dan bisa membanggakan atasannya. Plus, bisa mengantongi sedikit “uang panas”.

Akh, mendapat “uang panas” di tengah matahari yang sedang panas. Menyebut pintar orang yang memanipulasi data. Harusnya, orang itu bukan disebut pintar, tapi licik. Bedanya memang tipis, sama-sama terbilang pandai, tapi orang licik menggunakan kepandaiannya untuk memutarbalikkan fakta, berbuat curang, dan berlaku culas.

Samarnya interpretasi, membuat orang menisbikan arti dari kedua kata tersebut. Bahkan, sering tak tahu bedanya. Padahal, artikulasinya jelas berbeda arah dan sisi. Si Pintar dan Si Licik, sama-sama pandai dalam mencari solusi dari masalah yang dialaminya. Tapi, Si Pintar mencari jalan keluar dengan cara yang positif, sedangkan Si Licik pandai menemukan jalan keluar melalui cara yang negatif. Si Pintar menguntungkan orang lain, sedang Si Licik merugikan orang lain.

Kembali pada drama warung kopi di atas. Mendengar obrolan mereka, saya sendiri tidak heran, karena sekarang ini memang banyak orang yang merasa pandai padahal mereka itu licik. Mereka saja yang merasa pandai, tapi sebenarnya mereka itu adalah orang yang mudah menyerah, penakut, dan gampang kalah. Mudah menyerah mencari jalan dengan cara yang positif, penakut mencari uang yang halal, gampang kalah mencari solusi sesuai aturan berlaku.

Mereka-mereka inilah yang senang “menggerogoti”, mencari jalan pintas, dan menghalalkan segala cara. Bangga dengan hasil kerjanya yang terlihat bagus, padahal kropos tanpa tulang. Senang “menjilat” orang lain di atas data yang mereka manipulasi sendiri, padahal itu artinya mereka berbohong pada diri sendiri. Berbohong sering kali menjadi kendaraan Si Licik dalam mengubah makna tersurat.

Selesai menenggak satu botol teh dan rasa pegal di pinggang sudah hilang, saya pun beranjak dari warung tersebut. Ketika hendak membayar, saya melihat pedagangnya sedang menonton iklan calon presiden dan wakil di televisi 14 inchi miliknya.
Sejenak, saya pun melempar pandangan ke iklan tersebut yang isinya hanya retorika mengajak masyarakat untuk memilih. Tentunya, dengan iming-iming yang dipaksakan mengikuti keinginan masyarakat. Berlagak menjadi “dewa penyelamat” di saat ada maunya.

Dari iklan kampanye politik tersebut, ada satu hal yang terus menjadi pertanyaan bagi saya. Kenapa mereka itu mendadak seperti orang paling pintar di negeri ini? Mengaku punya solusi memajukan negara yang katanya amburadul. Mengumbar data-data guna mendukung pernyataan-pernyataan yang mereka lontarkan. Bahkan, mereka pun tidak segan menjatuhkan kinerja dan menyalahkan lawan politiknya. Mereka ini siapa? Si Licik atau Si Pintar.

Memang, dalam dunia politik, apa saja bisa terjadi. Kamuflase Si Licik bisa saja tak terendus dan identitas Si Pintar pun bisa saja tak terungkap. Tapi, hal itu bisa diketahui kalau kita sebagai masyarakat punya keinginan untuk mencari tahu. Tidak mudah percaya retorika politik dan informasi satu arah yang memang bertujuan membentuk opini positif publik dari salah satu calon presiden dan wakil.

Sekedar mengingatkan, menjelang Pilpres nanti, bersikaplah kritis terhadap apa yang diberikan berbagai media kampanye politik. Namun, kita juga tidak harus apatis atau malah menelan mentah-mentah konten yang disajikan. Bila begitu, dengan sendirinya kita pun akan tahu siapa yang memang pintar dan siapa yang licik. Siapa yang pantas memimpin dan siapa yang malah akan memukul mundur bangsa ini.

Read More ..

Portal dan “Polisi Tidur” Siap Mangkat

Dengan alasan menggangu kenyamanan pengguna jalan dan menghindari kesan eklusifitas, dalam waktu dekat, portal dan “polisi tidur” di kawasan pemukiman dan perumahan akan ditertibkan Pemda Jakarta. Paling cepat, dilakukan setelah Pilpres nanti.

Sekarang ini, keberadaan portal dan “polisi tidur” kadung menjadi jawaban dari menjaga keamanan dan keselamatan. Mengapa portal banyak didirikan? Karena banyak masyarakat yang merasa tidak aman. “Polisi tidur” dibuat agar kendaraan motor tidak ngebut ketika melewati kawasan pemukiman atau perumahan.

Tapi, dilain sisi, portal dan “polisi tidur” pun menggangu kepentingan umum. Membuat pengguna jalan yang berkendaraan menjadi tidak nyaman dan menghambat mobilitas masyarakat. Apalagi bila portal atau “polisi tidur” dibangun pada jalan umum.

Ketentuan pembuatan portal dan “polisi tidur” sendiri sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) No 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Aturannya terdapat dalam Bab II pasal 3 tentang tertib jalan, angkutan jalan, dan angkutan sungai. Isi aturan tersebut yakni kecuali dengan izin gubernur atau pejabat yang ditunjuk.
Bila melanggar, bisa diancam pidana minimal 20 hari penjara, paling lama 90 hari penjara atau denda minimal Rp 500 ribu dan maksimal Rp 30 juta.

Namun, aturan tersebut hanya tinggal aturan. Seusai peristiwa kerusuhan yang terjadi Mei 1998 lalu, beberapa perumahan, kawasan pemukiman, bahkan komplek ruko dan mal pun membatasi diri dengan memasang portal dan pagar besi yang cukup tinggi. Hal tersebut dilakukan dengan alasan untuk menghindari penjarahan dan phobia kerusuhan yang disertai perusakan.

Karena memang dibiarkan, masyarakat yang notabene belum mengerti aturan dan syarat pembuatan portal atau “polisi tidur” pun seenaknya membuat palang jalan dan gundukan tersebut. Akhirnya, portal dan “polisi tidur” menjadi hal yang wajib, terutama di setiap perempatan komplek perumahan.

Dalam hal ini, masyarakat tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena mereka butuh rasa aman. Berkaca pada peristiwa kerusahan lalu, masyarakat merasa tidak ada yang bisa menjamin keselamatan dan keamanan mereka. Makanya, mereka melakukan tindakan preventif yang sekiranya bisa mencegah peristiwa itu terulang lagi.

Sekarang, bila memang alasan tersebut dibilang sudah “basi” dan situasi dikatakan sudah kondusif, apa pemerintah dan aparat keamanan bisa memberi rasa aman pada masyarakat?

Rasa aman, hal inilah yang menjadi esensi dari mengapa masyarakat banyak membuat portal dan “polisi tidur” di kawasan tempa tinggalnya. Kalau memang ada jaminan dan kiat meyakinkan masyarakat dalam hal rasa aman, masyarakat pun akan rela membongkar semua itu. Buat apa mereka mengeluarkan uang untuk membikin portal, duplikat kunci, atau membayar satuan pengaman di setiap perempatan, kalau memang mereka sudah merasa aman.

Okelah, ada yang bilang, kalau begitu, kegiatan Siskamling harus digiatkan untuk memenuhi kebutuhan rasa aman. Tapi, Siskamling biasanya dilakukan pada malam hari, bagaimana mencegah maling atau perampok siang hari yang kerap menjadi modus pencurian di perumahan-perumahan?

Dengan adanya portal atau “polisi tidur”, setidaknya bisa meminimalisir lalu lalang orang yang bukan penghuni. Sekaligus mencegah pencuri atau perampok dalam mengintai, mengenal lokasi, dan mengetahui kondisi incarannya.

Bila pemerintah dan aparat keamanan tidak bisa memberi rasa aman pada masyarakat, penertiban keberaaan portal dan “polisi tidur” ini bisa banyak mendapat kecaman. Bahkan, bisa saja ada yang menolak. Belum lagi, dengan dibukanya portal, berarti akan membuat lalu lintas, khususnya di kawasan perumahan, akan semakin tinggi. Sehingga bisa membuat jalan menjadi cepat rusak. Kalau sudah begitu, siapa yang akan membetulkan jalan?

Bukannya antipati terhadap kebijakan yang ditelurkan Wagub Jakarta, Prijanto ini, tapi setidaknya Pemda Jakarta bisa membuka mata. Memang benar kita harus mendahulukan kepentingan umum, tapi rasa aman penghuni kawasan pemukiman dan perumahan adalah kebutuhan mendasar yang juga perlu diperhitungkan.

Read More ..

Mencari Salah dalam Pemilu

Konstruksi menjadi bagian penting dalam sebuah bangunan. Kapasitas dan kualitas setiap bagiannya harus sejalan dengan peruntukkan bangunan tersebut. Tidak bisa diselewengkan dan diremehkan agar bangunan bisa kokoh berdiri.

Kita ambil perumpamaan sebuah jembatan. Bila dibuat dengan bahan baku dan konstruksi yang mampu bertahan sampai 10 tahun, maka jembatan tersebut pun akan bisa bertahan sesuai usianya. Tapi, jika diselewengkan, jembatan itu bisa saja ambruk sebelum masanya. Ketidakmampuan dalam menahan beban menjadi pertanyaan karena seharusnya jembatan tersebut bisa bertahan sesuai kapasitasnya.

Jembatan tidak bisa dinilai hanya dari fisiknya yang terlihat kuat, kokoh, dan mentereng, tapi harus pula diperhitungkan kekuatannya dari konstruksi dan bahan baku yang digunakan. Sehingga kekuatan jembatan bukan hanya memiliki makna tersirat, tapi juga tersurat. Apalagi jembatan akan dilewati banyak orang yang pastinya berhubungan dengan keselamatan jiwa yang melaluinya.

Melihat kondisi politik sekarang ini, seusai hari pencontrengan, disadari atau tidak, masyarakat sebenarnya sudah memilih bahan baku dan konstruksi pemerintahan buat 5 tahun mendatang. Analogi jembatan di atas bisa diutarakan untuk melihat konskuensi dan menilai peta politik nantinya.

Kalau saja masyarakat salah memilih, pastinya jembatan republik ini akan cepat roboh. Tidak berumur panjang, atau akan cepat kropos karena kredibilitas konstruksi dan bahan bakunya tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Sekaranglah, masa di mana negara ini mengalami dekonstruksi politik dan pemerintahan. Masa ketika haluan politik dan pemerintah ditentukan. Akan berjalan di tempat, melesat maju, atau malah mundur ke belakang.

Namun, di saat pemerintahan dipilih kembali dan dilegitimasi ulang oleh rakyat, ada saja permasalahan yang timbul. Setelah penyesalan masyarakat mengenai kurangnya sosialisasi Pemilu yang menyebabkan mereka tidak memiliki pilihan caleg yang pasti, dan begitu banyaknya partai politik serta calon anggota legislatif yang membuat surat suara melebihi lebar bilik suara, lalu masyarakat masih menuai masalah karena tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dengan begitu, mereka tidak bisa mencontreng dan tidak bisa menunaikan hak konstitusionilnya.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai tidak melakukan tugasnya dengan baik. Akibatnya, protes banyak dilayangkan meminta pertanggungjawaban KPU. Partai politik dan Caleg pun ada yang terus memertanyakan hal tersebut. Mereka menilai pelaksanaan Pemilu 2009 amburadul.

Apapun alasannya, surat suara sudah masuk dalam perhitungan dan masyarakat pun sudah mengetahui hasilnya. Suka atau tidak, masyarakat harus menerima keputusan KPU sebagai badan yang memiliki otoritas dalam pelaksanaan Pemilu.

Hal yang perlu dicermati dalam kekisruhan ini adalah kebiasaan mencari “kambing hitam”, saling menuding, dan melempar tanggung jawab. Tidak berupaya untuk melihat dan memahami kalau kesalahan-kesalahan dalam Pemilu kali ini adalah kealpaan dari mereka pula.

Kalau memang ada kesalahan dalam pelaksanaannya, selain harus diperbaiki, masyarakat dan semua yang berkepentingan ada baiknya ikut andil sebelum pelaksanaanya. Tidak ribut di akhir pelaksanaan dan rajin mencari kesalahan pihak lain.

Sama halnya dengan membangun jembatan di atas, cobalah untuk teliti dan andil ketika jembatan akan dan saat dibangun. Berikan usulan agar jembatan kokoh berdiri dan kontrol bersama-sama. Jangan ketika jembatan sudah berlobang atau ambruk, baru teriak kalau bahan dan konstruksinya tidak bagus, ada kecurangan, dan tidak sesuai rencana semula.

Perlu disadari, Pemilu dilangsungkan untuk kepentingan masyarakat dan bangsa ini, bukan hanya untuk kepentingan Partai Politik, Caleg, atau KPU sekali pun. Pemilu pun bukan ajang mencari kesalahan, kalau ada yang hanya mencari kekuasaan belaka, orang inilah yang patut disalahkan. Bukan sistem yang telah dibuat secara kolektif. Bila begitu adanya, sama saja kita bertindak bodoh, mencari kesalahan atas perbuatan salah yang kita lakukan sendiri.


Read More ..

Aksesibilitas dan Kesempatan Politik Difabel

Semua orang layaknya memiliki kesempatan yang sama agar hak mereka dapat terpenuhi dengan sejati. Bukan dengan diskriminasi atau belas kasihan kesempatan itu diberikan, tapi dengan kesadaran penuh dan keakuan bahwa semua orang adalah sama pada dasarnya.

Menjelang Pemilu 2009 nanti, aksesibilitas para penyandang cacat atau kaum difabel (people with different ability) masih terus dipertanyakan implementasinya. Akankah mereka mendapat akses yang memadai dalam Pemilu nanti? Terbebaskah mereka dari kecurangan saat hari pencontrengan nanti?

Pengurus Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA Penca) pun sudah mengusulkan kepada KPU pusat agar menyiapkan segala akses buat penyandang cacat. PPUA Perca yang didirikan tahun 2004 adalah kumpulan organisasi penyandang cacat di seluruh Indonesia. Tujuan awalnya adalah membantu para penyandang cacat dalam pelaksanaan Pemilu 2004 lalu.

Bagi orang normal, mungkin yang dipikirkan adalah siapa yang akan dipilih saat Pemilu nanti. Tapi, buat mereka yang difabel, selain pertanyaan di atas, ada hal yang lebih penting lagi. Mereka memikirkan bagaimana caranya memilih, bila bilik suara tak selebar kursi roda? Tidak adanya alat bantu dengar? Tidak tersedianya surat suara dalam huruf Braille? Atau bagaimana bisa ke TPS kalau jalannya terjal dan berbatu? Kalau saja aksesibilitas mereka tidak dipermudah, percuma saja mereka berpikir untuk memilih siapa.

Tidak tersedianya aksesibilitas yang memadai ini pun bisa memunculkan kecurangan dalam Pemilu. Biasanya, penyandang cacat yang tidak bisa mengakses bilik suara atau mereka yang tidak bisa melihat, akan diwakilkan oleh seseorang. Mereka akan ditanya, “mau pilih apa? Nanti akan dicobloskan”. Di sinilah biasanya akan terjadi rekayasa atau manipulasi dalam prakteknya.

Di samping itu, hal tersebut juga mengingkari asas Pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia. Para kaum difabel tidak bisa langsung memilih karena aksesnya yang tidak menunjang. Mereka juga tidak bisa merahasiakan pilihannya karena suaranya diwakilkan oleh orang lain.

Pada Pemilu 1999, masih ada penyandang cacat yang harus turun dari kursi rodanya menuju bilik suara. Itu karena kursi rodanya tidak bisa masuk bilik dan jalan menuju ke sana tak bisa dilewati kursi roda. Penyandang cacat fisik tersebut tidak mau kehilangan hak suaranya dan sudah memiliki kesadaran berpolitik. Makanya, dia mau bersusah payah merangkak ke bilik suara untuk mencoblos kertas suara.

Bukan hanya masalah aksesibilitas, tapi dalam hal ini, sosialisasi Pemilu 2009 pun dinilai masih belum cukup. Padahal ormas dan orsos penyandang cacat sudah tersebar di seluruh Indonesia. Kaum difabel perlu informasi tentang partai politik dan Caleg agar mereka tidak bingung memilih.

Misalnya saja, informasi Pemilu buat penderita tuna rungu, mereka pada umumnya tidak bisa membaca dan hanya mengandalkan bahasa isyarat. Sampai sekarang ini, belum ada informasi yang menambahkan bahasa isyarat di dalamnya.

Begitu juga dengan persepsi mengenai tanda centang yang disepakati dipakai dalam memilih nanti. Bisa saja kita mengandaikan centang dengan bentuk rumput yang biasa digambar anak-anak SD kelas 1. Tapi, buat mereka yang tuna netra atau tidak bisa melihat sejak kecil, mereka tidak tahu apa yang dinamakan dengan rumput.

Saat ini, menurut Data Depsos jumlah penyandang cacat di Indonesia diprediksikan 3,11 persen dari total penduduk Indonesia atau sekitar 6 juta jiwa. Dari jumlah sekitar 6 juta jiwa tersebut, sekitar 3,6 juta di antaranya memiliki hak pilih.

Mungkin saja pemerintah sudah memikirkan hal tersebut, KPU pun sudah berjanji pada PPUA Perca untuk mengakomodir tersedianya aksesibilitas memadai buat kaum difabel. Meski begitu, sekali lagi, implementasinya masih dipertanyakan.

Akankah KPU mampu menyediakan aksesibilitas memadai buat kaum difabel yang tidak terkonsentrasi di satu tempat? Atau KPU dan masyarakat pada umumnya lebih memilih memarginalkan mereka, menyepelekan hak kaum difabel, dan diskriminatif ?

Perlu diingat, kaum difabel tidak mau dirinya dibedakan dengan orang lain. Mereka lebih suka dianggap sama dan diberikan kesempatan untuk berusaha sendiri. Mereka pun tidak suka belas kasihan. Saat Pemilu nanti, mereka hanya butuh akses yang memudahkan dalam memilih dan pengakuan eksistensi kaum difabel.

Read More ..

Banjir dan Masyarakatnya

Pertengahan Januari lalu, dua RW di Penjaringan Jakarta Utara sudah mulai terendam banjir akibat hujan. Sama halnya di Rawa Buaya, Cengkareng. Luapan Kali Mookevart memaksa warga mengungsi karena rumahnya dilanda banjir setinggi 1 meter.

Mulai bulan ini sampai dengan Maret 2009, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), memerkirakan intensitas curah hujan akan cukup tinggi dan bisa menyebabkan beberapa daerah di Jakarta akan tergenang.

Meski Pemprov Jakarta sudah melakukan tindakan preventif seperti, pengerukan beberapa kali yang mengalami pendangkalan, pembersihan sampah di beberapa muara, menyiagakan Satkorlak (Satuan Koordinator Pelaksana) sampai tingkat kelurahan, tapi sepertinya belum ada antisipasi jitu dalam menghadapi bencana tahunan tersebut.

Jakarta Barat (Cengkareng, Kalideres, dan Kebonjeruk) dan Jakarta Utara (Koja, Kelapa Gading, Pademangan, Penjaringan, dan Tanjungpriok) merupakan daerah langganan banjir. Tiap tahun, daerah tersebut pasti tergenang banjir. Sampai-sampai, masyarakat di sana menjadi terbiasa dengan apa yang diakibatkan banjir.

Bicara mengenai banjir, saya teringat dengan teman yang rumahnya di Duri Kosambi, Jakarta Barat. Setiap musim penghujan, dia selalu was-was dengan banjir. Tiap kali air sudah menggenangi jalan MHT di depan rumahnya, dia langsung mengemasi perabotan rumah, barang elektronik, surat-surat berharga, dan makanan secukupnya.

Semua itu dia pindahkan ke lantai atas rumahnya yang dibuat seadanya. Tidak permanen seperti di komplek-komplek perumahan, yang penting bisa buat tidur dan tidak terkena hujan.

Ketika hujan tak kunjung henti, dia bersama istrinya pun tidak lelap tertidur. Bersiaga kalau-kalau ada banjir kiriman yang biasanya datang mendadak. Lampu minyak dan lilin tidak lupa disiapkan, itu juga buat berjaga-jaga kalau listrik padam.

Teman saya itu, sudah mendiami daerah tersebut dari tahun 90-an. Dia dan masyarakat di sekitarnya, sudah biasa dengan banjir yang rajin datang ke wilayahnya. Meski ada sedikit rasa takut, banjir dianggapnya sebagai hal yang biasa. Sampai dia berkata,“bukan Jakarta namanya, kalau ngga ada banjir!”

Mendengar perkataaan itu, saya jadi berpikir, kenapa Jakarta sangat lekat dengan banjir? Mulai kapan banjir selalu mewarnai Jakarta tiap tahunnya? Dan kenapa pemerintah provinsi tidak bisa mencegah dan mengantisipasi banjir?

Mungkin itu adalah pertanyaan biasa. Tapi dari pertanyaan biasa itu, saya yakin, tidak satu orang pun yang bisa menjawabnya dengan solusi realistis dan konkrit. Kenapa? Karena banjir bukan lagi hanya masalah masyarakat yang buang sampah sembarangan di Kali Mookevart, tidak lagi hanya masalah developer yang membangun properti di wilayah serapan air, atau bukan hanya tidak becusnya pemerintah dalam mengatur tata kota.

Banjir sudah menjadi masalah kompleks yang tidak hanya memerlukan jawaban, tapi juga komitmen yang jelas, tegas, dan berkesinambungan dari berbagai pihak. Baik dari pemerintah, masyarakat, maupun pihak swasta dan pelaku bisnis.

Reaksi Cepat Masyarakat
Dari pada saling menyalahkan dan menuntut siapa yang paling bertanggung jawab, ada baiknya masyarakat melakukan apa yang dilakukan teman saya di atas. Bersiap menghadapi banjir untuk meminimalisir kerugian.

Mulailah mengumpulkan surat-surat berharga, memikirkan akan diletakkan di mana barang-barang elektronik bila banjir datang, menyiapkan alat penerangan darurat (lilin, lampu minyak, petromaks, generator), atau memisahkan pakaian dan makanan seadanya jika banjir memaksa kita untuk mengungsi.

Kemudian buat mereka yang wilayahnya bebas banjir, kalau boleh menyarankan, bisa mulai merencanakan pembentukan posko-posko bantuan. Posko tersebut bisa didirikan di rumah-rumah dengan memberdayakan anak-anak muda setempat. Mereka bisa mengumpulkan bantuan dari warga atau pelaku bisnis yang berlokasi di wilayah mereka.

Jika banjir sudah meluas, dapur umum menjadi bantuan yang paling dibutuhkan. Karena biasanya wilayah yang terkena banjir, tidak memiliki lahan untuk mendirikan dapur umum. Masyarakat lebih membutuhkan hal yang praktis ketika banjir. Buatlah nasi bungkus dengan lauk pauk yang bisa dibagikan ke pos-pos pengungsian atau langsung ke wilayah terkena banjir.

Dalam menghadapi bencana banjir, terutama buat yang tinggal di daerah rawan banjir, masyarakat harus pro aktif dalam mengantisipasinya. Memersiapkan segala sesuatunya bila memang terjadi banjir.

Begitu juga dengan reaksi cepat dari masyarakat (yang tidak terkena banjir). Koordinasi warga setingkat RT dalam mengumpulkan bantuan tidak akan begitu sulit. Sehingga bantuan dalam berbagai bentuk bisa terkumpul dan disalurkan dengan cepat. Lain halnya dengan pemerintah yang sering telat mengucurkan bantuan. Entah karena birokrasi atau pendistribusiannya yang “macet”.

Read More ..

Politik (Bukan) Ilmu Pasti

Tidak berapa lama lagi, Pemilu 2009 akan dimulai. Sebanyak 44 partai politik ambil bagian dalam “pesta demokrasi” kali ini. Kemudian ada sekitar 560 kursi anggota DPR yang terbagi dalam 77 daerah pemilihan akan diperebutkan calon-calon anggota legislatif.

Belakangan, menghadapi perhelatan tersebut, baik partai politik (Parpol) maupun calon anggota legislatif (Caleg), keduanya “setali tiga uang” berlomba-lomba merebut hati rakyat. Kalau ada partai yang punya dana besar, mereka akan rajin mengiklankan diri di berbagai media massa. Begitu juga dengan Caleg, mereka tidak malu lagi foto-fotonya dipampang di jalan-jalan. Tujuannya adalah agar masyarakat kenal dan mau memilih mereka.

Selama masa kampanye, keduanya akan rajin berkunjung ke berbagai tempat, terutama di kantong-kantong suara mereka. Bukan rahasia lagi kalau dalam kunjungan tersebut, mereka pun akan menebar visi misi, sedikit memberi pesta, dan tidak lupa memberi janji-janji politis.

Dari rakyat yang berdomisili di tengah kota sampai mereka yang bermukim di ujung pulau akan mereka datangi. Mereka tidak peduli dengan kumuhnya daerah Muara Baru yang sering diterjang banjir rob, misalnya, atau panasnya sengatan matahari dan keletihan yang mereka rasakan. Mereka mengejar mesin suara.

Namun, bilakah Parpol mendapat suara dan Caleg tersebut terpilih, akankan mereka tetap berlomba mengunjungi masyarakat pemilihnya? Masihkan mereka rela bersimbah keringat dan datang ke lorong-lorong daerah kumuh sekedar mengucapkan terima kasih karena telah memilih mereka? Mereka hanya mengejar mesin suara.

Ada sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa tidak ada satu pun dari masyarakat kalangan bawah yang dikunjungi anggota dewan pusat atau daerah setelah terpilih (kompas.com). Meski penelitian yang dilakukan Kalyanamitra ini dikhususkan untuk politisi perempuan, tapi sepertinya tidak jauh berbeda dengan politisi laki-laki.

Fenomena ini sudah menjadi rahasia umum dan belum ada perbaikan dari tahun ke tahun. Jangankan mengunjungi konstituen mereka, wong pada masa sidang II pada 24 November – 19 Desember 2008 lalu saja, anggota dewan yang selalu hadir mengikuti rapat paripurna hanya 116 orang dari 550 anggota dewan (Kompas, 10/1).

Menghadiri rapat paripurna yang sudah menjadi kewajibannya dan sebagai representasi dari rakyat saja, mereka sering mangkir, apalagi harus turun ke bawah. Tapi katanya, ketidakhadiran mereka justru untuk mengunjungi konstituen di daerah-daerah. Lho, bukannya kesempatan itu bisa didapat ketika masa reses?

Kacang dan Kulitnya
Mungkin kita masih ingat dengan pameo “kacang lupa pada kulitnya” yang sering diartikan dengan orang yang lupa dengan orang lain yang berjasa terhadap kesuksesan dirinya. Kacang akan melupakan kulitnya setelah biji kacang dituai dan mempunyai nilai ekonomis. Kulit kacang akan dicampakkan dan dibuang begitu saja. Padahal karena kulitnya, kacang bisa tumbuh, terlindungi sinar matahari dan hujan.

Tidak baik adanya bila pameo tersebut terus melekat pada anggota dewan. Masyarakat yang diibaratkan dengan “kulit” sering dikecewakan oleh “kacang” yang diartikan dengan anggota dewan.

Lebih buruk lagi kalau ditambah dengan kiasan “ada udang di balik batu”. Seperti halnya ketika menjelang Pemilu seperti sekarang ini, banyak partai dan Caleg yang mengubar janji politis karena ada maunya. Terpilih menjadi anggota legislatif.

Menjadi anggota legislatif yang notabene adalah wakil rakyat, bukanlah pekerjaan mudah. Dalam kajian Islam, seorang Amirul Mukminin, Umar Ibn Abdul Aziz, malah menangis ketika menerima jabatan menjadi seorang pemimpin di tanah Arab. Dia menganggapnya sebagai ujian dan langsung teringat pada orang-orang miskin, ibu-ibu yang janda, orang yang punya anak banyak, rezekinya sedikit, dan orang-orang dalam tawanan. Umar Ibn Abdul Aziz tahu kalau kelak dia akan diminta pertanggungjawabannya.

Mengunjungi konstituante dengan tujuan mengetahui bagaimana kondisi dan apa saja permasalahan di masyarakat, juga merupakan salah satu bentuk tanggung jawab anggota legislatif kepada pemilihnya. Dengan begitu, masyarakat tidak merasa dilupakan, malah merasa mendapat media aspirasi langsung, bukan hanya melihat anggota legislatif ketika bersidang membuat peraturan.

Tidak ada salahnya bila setiap anggota legislatif, pertama, memiliki agenda tetap untuk membaur dengan masyarakat. Mengatur waktu mengunjungi masyarakat tiap kelurahan di daerah pemilihannya. Di situ, bersama dengan masyarakat, bisa memecahkan masalah yang ada dengan lebih kongkrit.

Kedua, dalam kunjungannya, membuat rencana-rencana yang realistis dalam pengembangan wilayah dan masyarakat. Tidak melulu berkutat pada hal-hal yang teoritis. Apalagi rencana-rencana yang nantinya bakal terbentur pada masalah birokrasi yang tidak efektif.

Ketiga, meski sudah dialokasikan, anggota legislatif mau membantu secara langsung bila di daerah pemilihannya, terjadi bencana alam, banyak masyarakat miskin, terserang wabah penyakit, banyak anak yang tidak mampu bersekolah, misalnya. Dengan begitu, anggota legislatif tidak akan dianggap melupakan konstituennya.

Namun, seperti yang dikatakan Otto von Bismarck (1815–1898), “Politics is not an exact science” (Politik bukanlah ilmu pasti). Artinya, apa yang terjadi sekarang, apa yang dijanjikan, apa yang direncanakan, bisa saja berubah karena politik bukanlah ilmu pasti. Berharaplah agar politisi kita akan berubah ke arah yang lebih baik, tidak melupakan masyarakatnya, tidak berkhianat dan amanah, tidak menggerogoti uang negara, dan tidak berkolusi jahat.

Read More ..

Perspektif Keuangan Keluarga

Dalam sebuah keluarga, perlukah suami dan istri bekerja? Bila memang harus, akankah perekonomian keluarga menjadi lebih baik? Atau malah sama saja?



Ada pepatah China yang mengatakan, “besar ular, besar pula liangnya”, artinya “besar pendapatan, besar pula pengeluarannya”. (The Best of Chinese Saying, Leman).

Hal inilah yang harus dihindari kalau Anda ingin hidup sukses (secara finansial). Hidup sukses seperti ini bukan tergantung pada pendapatan, melainkan pada besar kecilnya jumlah yang dapat Anda sisihkan (ditabung).

Sekarang, tidak sedikit keluarga yang menghadapi masalah perekonomian cukup pelik. Mulai dari tagihan kartu kredit yang jumlahnya bukan malah sedikit sampai ketakutan biaya pendidikan anak di masa mendatang.

Banyak keluarga, terutama yang hidup diperkotaan, juga dihadapkan pada besarnya tuntutan hidup di jaman yang serba konsumtif ini. Mereka sering tidak bisa mengelak dorongan gaya hidup tidak hemat yang banyak ditebar media massa. Sehingga bagi yang tidak bisa menahan diri, bisa terbawa arus dan terjerembab dalam kebangkrutan ekonomi keluarga.

Dalam mengatasi masalah tersebut, ada yang berpikir untuk memaksimalkan usaha pencarian pendapatan keluarga. Istri yang bagi sebagian orang dianggap harus mengurus rumah tangga dan anak, difungsikan mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan keluarga.

Namun, bila tidak dipikirkan dengan matang, usaha tersebut akan sia-sia. Malah bisa lebih merugikan. Alih-alih meraih keberhasilan ekonomi keluarga, malah rumah tangga dan anak menjadi tak terurus.

Hidup Konsumtif
Ketidakdisiplinan menjalankan kebijakan ekonomi keluarga dan kebudayaan hidup boros adalah pangkal dari masalah keuangan keluarga. Penyebabnya bermacam-macam. Misalnya, iming-iming diskon di berbagai pusat perbelanjaan, ketidakberdayaan dalam menahan keinginan berbelanja, atau terbawa gaya hidup bertransaksi menggunakan kartu kredit.

Banyak pula orang yang terjebak dalam kemudahan transaksi usaha dengan skema kredit. Cara pembayaran yang bisa dicicil dalam beberapa periode, membuat orang tergiur. Buat mereka yang tersihir cara tersebut, sering kali logikanya mandek. Ambil barang dulu, bayarnya dipikir belakangan.

Cara berpikir seperti itu berbahaya dan cenderung mendukung gaya hidup tidak hemat. Segala kemudahan kredit, diibaratkan perangkap yang membuat “gunung” hutang kita semakin tinggi. Bahkan bisa membuat neraca keuangan keluarga menjadi tidak seimbang. Pengeluaran lebih tinggi karena harus menutupi hutang.

Selain menghindari gaya hidup konsumtif, ada beberapa alternatif pemikiran yang bisa diterapkan agar ekonomi keluarga menjadi lebih sehat. Pertama, kita harus mengetahui berapa besar kekayaan bersih yang dimiliki, termasuk jumlah hutang yang harus ditanggung.

Dari jumlah kekayaan bersih tersebut, kita baru bisa menetapkan tujuan dan pencapaian yang akan kita tuju dalam jangka waktu tertentu. Bahkan dari situ, kita pun bisa menabung dan memersiapkan dana untuk hari tua nanti.

Perihal tabungan, ada juga keluarga yang tidak memilikinya. Mereka beranggapan bahwa dengan pendapatannya, tidak mungkin bisa menabung. Dengan berbagai alasan, mereka pun memengaruhi diri sendiri agar tidak bisa menabung.

Padahal, kalau mau mengikuti rumusan (pendapatan = 20% tabungan + 80% pengeluaran), kita pasti akan memiliki uang lebih di tabungan. Intinya, sisihkan dulu uang untuk menabung, baru berpikir berbelanja kebutuhan keluarga dengan alokasi dana setelah dipotong tabungan. Lakukan hal tersebut dengan disiplin.

Kedua, dalam sebuah keluarga, kita pun harus bisa merancang anggaran belanja keluarga. Besaran pengeluaran dan pendapat harus dihitung dengan cermat. Setiap langkah yang ditetapkan dalam anggaran tersebut, nantinya akan berlanjut pada hitungan belanja di masa mendatang.

Contohnya, memisahkan pendapatan kita dalam amplop-amplop tertentu untuk masing-masing pos pengeluaran keluarga. Dengan begitu, anggaran keluarga teralokasi dengan benar.

Ketiga, kalau memang memungkinkan, tidak ada salahnya mulai menginvestasikan kekayaan kita. Terdapat banyak cara berinvestasi yang ditawarkan sekarang ini. Tapi tentunya, kita pun harus memiliki perencanaan yang matang agar cash flow keluarga tidak terganggu.

Keempat, adalah proteksi keluarga. Asuransi menurut beberapa pakar perencana keuangan sangat dibutuhkan buat mereka yang sudah berkeluarga. Melihat tingkat kebutuhannya, setiap orang tidak akan pernah tahu apakah membutuhkan asuransi atau tidak. Pastinya, dengan memiliki asuransi, berarti kita sudah melindungi tanggungan keluarga.

Membuat perencanaan keuangan keluarga yang baik tentunya tidak sampai di situ. Situasi, kondisi, dan pengaruh faktor eksternal keluarga dapat memengaruhi rencana perhitungan finansial keluarga yang sudah dipikirkan masak-masak. Sehingga rencana tersebut disarankan bersifat fleksibel mengikuti fluktuasi keuangan keluarga.

Bahkan, rencana bisa saja tinggal sebuah rencana bila Tuhan menghendaki lain. Sesungguhnya, bukan hanya sekali kita membuat perencanaan keuangan keluarga. Pasti ada perubahan yang tidak kita sadari dan penyesuaian di dalamnya.

Read More ..

Peran Perempuan dan Kesempatan

Perlahan tapi pasti, dikotomi peran perempuan dan laki-laki mulai terkikis. Bukan hanya karena alasan ekonomi bila banyak perempuan yang bekerja di pom bensin atau menjadi supir busway. Di balik itu semua, mereka pun ingin menunjukkan eksistensinya yang memiliki hak sama dengan laki-laki.


Perempuan dalam tataran keluarga, masyarakat, maupun birokrasi sering dinomerduakan. Mereka dianggap tidak mampu secara fisik, pikiran, dan tanggung jawab. Stereotip gender seperti itu memang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Apalagi budaya patriarki di negara kita begitu melekat dalam masyarakat.

Perlu adanya kemauan dan tekad kaum perempuan untuk merubah itu semua. Seperti yang dikatakan Kiekeegaard dalam artikel Simon Beauvoir, eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.

Bercermin dari kalimat di atas, tidak ada salahnya bila wanita berjuang untuk “kebebasan”. Mendapatkan haknya dan bisa mengaktualisasikan diri dalam berbagai bidang.

Pemerintah sendiri, baik dalam UUD 1945 atau GBHN 1978 sampai 1999, sebenarnya telah mencantumkan persamaan hak, kewajiban, dan kesempatan antara perempuan dan laki-laki dalam segala aspek pembangunan.

Sama halnya ketika pemerintah meratifikasi Konvensi ILO No. III dengan UU No. 80 Tahun 1957 tentang pengupahan dan jenis pekerjaan. Pun ketika meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Meski begitu, pengejawantahan dari aturan-aturan tersebut serasa berjalan lamban. Mungkin baru 10 tahun belakangan, baru ada wanita Indonesia yang menjabat sebagai presiden atau bekerja di perkantoran-instansi pemerintah- menjadi pengusaha.

Dalam Politik dan Publik
Peran perempuan di tengah masyarakat atau publik dengan cara ikut bekerja dan beraktifitas bersama-sama dengan laki-laki, sering mengalami benturan-benturan tertentu. Hal tersebut karena ketika terjun ke dunia publik, perempuan masih memiliki “beban” untuk memegang urusan domestik (mengurus rumah tangga dan keluarga). Sehingga perempuan sendiri kerap menjadi bingung. Mana yang harus didahulukan.

Sementara laki-laki sendiri, masih ada yang tidak sependapat kalau perempuan ikut bekerja. Meski tidak terlihat jelas, sepertinya diskriminasi perempuan masih terus berjalan. Perlakuan tersebut seperti bayang-bayang, ada tapi tiada.

Saat ini, perempuan mulai lebih giat memerjuangkan eksistensinya. Di daerah perkotaan, perempuan mulai mendobrak superioritas laki-laki. Sedikit demi sedikit, perempuan mulai berperan dalam segala bidang.

Hal tersebut mengindikasikan kalau kesempatan perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan keluar dari dominasi laki-laki atau menjadi objek, semakin terbuka lebar. Termasuk ketika perempuan diberi “jatah” sebanyak 30% untuk menjadi anggota legislatif dalam Pemilu 2009 nanti.

Perempuan diharapkan bisa merubah wajah anggota legislatif dan berkiprah dalam dunia politik. Hal ini bisa menjadi kesempatan emas buat perempuan dalam menunjukkan eksistensinya. Tapi di sisi lain, kredibilitas mereka sebenarnya dipertaruhkan, apakah mereka bisa mengemban tugas dan memerjuangkan aspirasi masyarakat?

Ada perbedaan dalam kepemimpinan perempuan dan laki-laki. Dalam menjalankan peran sebagai pemimpin, perempuan mempunyai karakteristik, yaitu percaya diri, disiplin, memimpin orang lain bukan menguasai orang lain, bersikap tegas, bekerja untuk kepentingan orang lain, kerja keras, berkompetensi diri, dan bertanggung jawab terhadap pekerjaan (Elly Fardiana Latief, “Menguak Persoalan Perempuan Dalam Birokrasi”).

Bagi perempuan sendiri, hal tersebut di atas, seharusnya bisa menjadi lampu hijau untuk menunjukkan eksistensi dan memerjuangkan aspirasi kaumnya. Sudah sepatutnya mereka tidak menyiakan peluang dan mampu berdiri sendiri. Keluar dari bayang laki-laki dan menunjukkan kemampuan perempuan yang sering kali dipandang sebelah mata.

Read More ..

Pencemaran Air Tanah dan Biopori

Sudah menjadi konskuensi dari peradaban manusia bila lingkungan tercemar. Padahal, bila tidak memedulikan lingkungan, manusia sendiri yang akan menuai akibatnya. Selain pencemaran udara, pencemaran air tanah kini menjadi ancaman lain buat kelangsungan hidup manusia.


Seperti diketahui, sebagian besar masyarakat Jakarta masih menggunakan air tanah untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti mandi, cuci, atau minum. Rendahnya pengetahuan dan kemauan masyarakat untuk menjaga air tanah, menyebabkan kualitasnya semakin buruk. Air tanah banyak tercemar limbah rumah tangga dan bakteri E-Coli (Eschercia Coli).

Patut diketahui, kandungan bakteri Eschercia Coli (E-Coli) di Jakarta, rata-rata mencapai 41 persen. Data Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyebutkan tingkat pencemaran tertinggi di Jakarta Barat mencapai 93,3 persen, Jakarta Pusat 43,5, Jakarta Timur 26,2 persen, dan Jakarta Selatan 25 persen (www.beritajakarta.com).

Bakteri E-Coli sering dijadikan indikator dari tercemarnya air tanah dalam satu wilayah. Bakteri ini biasanya keluar bersama tinja. Jika masuk saluran pencernaan melalui makanan atau minuman, bisa menimbulkan gangguan kesehatan (tifus, kolera, hepatitis, diare).

Kalau melihat data di atas, ternyata sebagian besar air tanah di Jakarta Barat sudah tercemar bakteri tersebut. Bila tidak ada tindakan nyata, bukan tidak mungkin kalau air tanah di komunitas kita seluruhnya tidak layak pakai.

Pemerintah sendiri, meski terlambat, melalui Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta, tidak akan memberikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) bagi pengembang yang menolak menerapkan Instalansi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal di kawasan perumahan yang dibangun.

Dengan begitu, setiap perumahan yang akan dibangun harus memiliki IPAL. Tapi sebenarnya, seberapa banyak perumahan baru di Jakarta? Tidak banyak perumahan yang akan dibangun karena memang sudah terbatasnya lahan di Jakarta. Kawasan perumahan baru, malah banyak didirikan di pinggiran Jakarta.

Sebagai pilot project, Jakarta Barat melalui Sudin Pekerjaan Umum Tata Air, pun sudah membangun Instalasi Pengelolaan Air Bersih (IPAB) di Kelurahan Semanan dan Kamal. Instalasi ini dibangun untuk memenuhi kebutuhan air bersih di kedua daerah tersebut.

Rencananya, IPAB akan dibangun diseluruh kawasan Jakarta, terutama di daerah-daerah kumuh yang sulit air bersih.

Sebenarnya, pencemaran air tanah sendiri bisa dilihat dari kondisi sungai-sungai yang mengalir di Jakarta. Hampir seluruhnya tidak lagi bersih dan kemungkinan besar sudah tercemar limbah rumah tangga dan industri.

Lihat saja aliran sungai Cengkareng Drain dan Mookevaart. Selain berwarna hitam pekat, banyak sekali sampah yang dibuang sembarangan oleh masyarakat. Di sini sebenarnya sudah bisa diindikasi kalau sungai-sungai sudah tercemar limbah. Begitu juga dengan air tanah di sekitarnya.

Kepedulian Masyarakat
Kalau pemerintah bisa mengatasi hal tersebut dengan peraturannya, mungkin masyarakat bisa pula berpartisipasi dengan kesadarannya. Kesadaran untuk bersama-sama mengatasi krisis air bersih di Jakarta.

Biarlah pemerintah mengambil langkah yang bisa dibilang terlambat tersebut. Karena bagaimana pun pemerintah sebenarnya tetap bertanggung jawab terhadap kualitas air bersih di Jakarta. Sebagai anggota masyarakat perlu kiranya langsung mengambil langkah-langkah kongkrit.

Di antaranya adalah dengan menghemat air. Biar bagaimana pun, segala yang berlebihan bukanlah hal yang baik. Biasanya saat musim penghujan, air akan banyak berlimpah. Tapi, ketika musim kemarau, air akan banyak menyusut. Dengan menghemat air, berarti kita menjaga ketersediaan air tanah.

Kemudian, jangan membuang sampah atau limbah ke perairan terbuka seperti sungai, kali, selokan dan sebagainya. Selain menyebabkan banjir, hal yang sudah menjadi kebiasaan buruk masyarakat Jakarta ini tentunya akan sangat mengurangi kualitas air.

Langkah yang belakangan banyak diambil adalah membuat sumur resapan atau lubang biopori. Kiat ini sangat tepat untuk Jakarta yang langka sekali ruang terbuka hijau sebagai tempat resapan air.

Dengan membuat lubang/sumur resapan, air hujan tidak langsung menuju saluran air, tapi meresap ke dalam tanah. Sehingga akan menambah kuantitas air tanah itu sendiri. Selain itu, lubang biopori ini mampu membuat organisme dalam tanah merubah sampah menjadi mineral yang dapat larut dalam air sehingga kualitas air tanah pun meningkat.

Namun, langkah-langkah tersebut perlu dukungan dan konsistensi dari masyarakat dan tentunya pemerintah sendiri. Apalagi mengingat kondisi air tanah sudah sangat mengkhawatirkan. Bila tidak ditanggulangi dengan cepat, masalah air tanah ini bisa menjadi bom waktu yang bisa menyengsarakan banyak orang.

Read More ..

Woro-woro Kampanye Online

Hiburan apa yang pasti ada ketika kampanye politik? Panggung dangdut! Jenis musik ini harus ada karena identik dengan rakyat jelata. Tokoh-tokoh politik mencari simpati dengan cara bernyanyi bersama, meski sering terdengar sumbang.


Tidak menjadi masalah, biar terdengar pales, dipaksakan agar terlihat kebersamaanya dan terkesan down to earth. Sambil bernyanyi, mereka menyuarakan suara partainya. Mudah-mudahan, rakyat yang lagi asyik-masyuk berdangdut ria mau memberi suara saat pencoblosan nanti.

Sekarang kita lihat kampanye Pemilu di Amerika Serikat. Tentu kandidat presiden di sana tidak memanggil artis dangdut dalam kampanyenya. Tapi, seperti Barrack Obama, dia menggunakan internet sebagai media kampanyenya. Sekaligus menangkap donatur yang ingin mendukung pencalonannya di Gedung Putih.

Obama memanfaatkan situs-situs interaktif sosial seperti Youtube, Facebook, Friendster, dan blog untuk menangkap massa. Belum lagi official website-nya. Di situ, masyarakat di negeri Paman Sam atau seluruh dunia, bisa melihat berita, kegiatan, bahkan merchandise yang mendukung pencalonannya.

Fenomena sukses kampanye online Obama banyak disorot masyarakat dunia. Tidak terkecuali di Indonesia. Beberapa partai politik pun sudah menyiapkan situs-situs online-nya untuk membantu memperebutkan suara rakyat dalam Pemilu 2009 nanti. Partai politik terinspirasi kampanye online Obama?

Coba saja cari melalui Google atau Yahoo, sebagian besar partai politik sudah menyiapkan situsnya. Meski tidak semua siap digunakan alias “maaf, situs ini masih dalam perbaikan”, namun gejala ini sudah menimbulkan perbedaan metode kampanye saat 5 tahun silam.

Partai-partai politik tersebut ingin menggapai suara pengguna internet. Sekaligus menggunakan teknologi informasi yang lebih modern. Tapi, apa pengguna internet di Indonesia sudah sebanyak di Amerika? Di negeri kita, hanya mereka yang hidup di perkotaan saja dan mereka yang memang kesehariannya bergelut dengan komputer yang melek dengan internet.

Kalau mau dihitung, pengguna internet di Indonesia hanya sekitar 25 juta orang sampai akhir 2007 lalu (www.apjii.or.id). Persentasenya tidak seberapa dibanding Amerika Serikat yang pengguna internetnya sudah hampir setengah populasinya.

Apalagi tingkat pendidikan kebanyakan masyarakat di sana berbeda dengan Indonesia. Mereka pun lebih aktif dalam berinteraksi sehingga komunikasi berjalan dengan lancar dan lebih “hidup”. Terlebih kebanyakan situs sekarang dibuat dengan model internet Web 2.0 yang bisa menyajikan informasi dua arah. Masyarakat bisa berdiskusi dan memberi komentar baik atau buruk.

Berbeda dengan di Indonesia, karena kebanyakan pengguna internet adalah anak-anak muda dibanding orang tua, mereka pun banyak yang memanfaatkan internet hanya untuk chatting atau bermain game online. Dari pada membuka situs partai politik, mereka pun lebih memilih chatting dengan temannya di dunia maya atau bermain Ragnarok.

Dengan begitu, populasi pengguna internet pun semakin menurun dan kemungkinan tersebarnya informasi dari situs partai politik pun melorot. Tinggal pengguna yang hobi surfing internet saja yang memiliki kemungkinan melihat retorika situs partai politik.

Belum lagi kalau situs-situs partai politik tersebut tidak dikelola dengan profesional. Entah yang masih dalam tahap under construction atau terdapat fitur-fitur yang tidak berfungsi. Kian malas masyarakat berlama-lama di situs partai politik.

Makanya, selain persiapan konten yang mampu “menyihir” opini masyarakat, partai politik juga harus menyiapkan infrastruktur dan sumber daya teknologi informasi yang mumpuni untuk masuk dalam kampanye online. Bukan hanya asal membuat situs atau jejaring sosial online.

Meski begitu, bukan haram namanya kalau partai politik memiliki situs. Sebagai sebuah media dalam berkampanye, tentunya sah-sah saja. Namun, buat di Indonesia sepertinya hal tersebut masih merupakan embrio cara berkampanye yang efektif.

Bukan saja tidak menyentuh masyarakat akar rumput, tapi internet masih merupakan “barang mahal” di Indonesia. Terlebih lagi kondisi ekonomi masyarakat sekarang ini masih terguncang dengan kenaikan harga BBM dan segala macam kebutuhan hidup.

Masyarakat kebanyakan akan lebih memilih melihat kampanye gratis dibanding harus menyewa sambungan internet di Warnet atau berlangganan koneksi. Ditambah lagi karena budaya berinternet memang masih belum populer di Indonesia.

Lain soal buat kader-kader partai politik. Mereka malah semakin terbantu dengan adanya internet. Koordinasi di antara anggota akan semakin cepat dan efektif. Apalagi buat mereka yang berada di luar pulau.

Pertarungan keras pun akan mengiringi kampanye partai politik melalui internet. Sifat komunikasi dua arah yang dimiliki internet seperti pisau bermata dua. Bisa mendukung, bisa pula mendorong jatuh.

Dalam dunia maya, setiap orang bisa saja memiliki pendapat yang berbeda. Berkata apa saja, bahkan menulis perkataan “jorok” sekali pun. Mendapat simpati publik melalui internet tidak semudah membagikan sembako atau money politic.

Bila kedua hal di atas, memang dibutuhkan oleh masyarakat. Sehingga doktrin-doktrin politik pun akan mudah diserap oleh yang menerimanya. Sedangkan melalu internet, murni intelektual partai politik dalam memengaruhi opini pengguna internet untuk mendukung partainya saat Pemilu nanti.

Sekali lagi, internet belum menjadi budaya pop di masyarakat Indonesia kebanyakan. Penetrasinya hanya sampai pada mereka yang berada di perkotaan di mana jaringan koneksi internet sudah tersebar. Itu pun tidak tersebar secara merata.

Apa gunanya kampanye online kalau memang tidak ada yang melihat. Akrabkan saja masyarakat dengan budaya yang dekat dengannya. Menggelar pentas dangdut seperti disebutkan di atas, misalnya. Tapi, bila itu pilihannya, tokoh politik yang akan naik panggung, harus mengambil kelas vokal dulu. Biar suaranya merdu, semerdu janji-janji kampanye.

Read More ..

Deman Futsal dan RTH

Sepak bola merupakan olahraga universal yang banyak penggemarnya. Hampir semua orang berjenis kelamin pria bisa bermain bola. Bahkan sekarang wanita pun ada yang menyenanginya. Tapi, karena olahraga ini perlu lapangan yang cukup luas, penggemarnya merasa dikebiri.


Bukan karena ada peraturan pemerintah yang melarang setiap warganya untuk bermain sepak bola, tapi karena minimnya lapangan olah raga tersebut. Terutama di Jakarta, dari 36 lapangan sepak bola yang pernah ada, 20 di antaranya hilang diterjang perkembangan Jakarta. Sebagian malah berubah menjadi pusat bisnis dan perbelanjaan. (www.gatra.com)

Bahkan, warga Jakarta pun kehilangan Stadion Menteng yang mejadi markas dari Persija. Lapangan olahraga bersejarah yang dibangun sejak 1921 ini pun sekarang sudah raib. Akibatnya, semakin sedikit saja lapangan sepak bola di ibukota ini.

Sekarang ini mungkin hanya lapangan-lapangan sepak bola di pinggiran Jakarta saja yang masih ada. Itu pun mungkin hanya tinggal menunggu waktu untuk diubah menjadi perumahan atau lahan bisnis. Apalagi kondisi lahan kosong di Jakarta sudah semakin langka.

Melihat kondisi tersebut, entah siapa yang memulai, 3 atau 4 tahun belakangan, muncul yang namanya futsal. Di komunitas Kembangan dan Kebon Jeruk sendiri, jumlah lapangan futsal sudah meningkat lebih dari 2 kali lipat sejak tahun 2007.

Meski ada beberapa peraturan yang berbeda, tapi olahraga ini sama saja dengan sepak bola pada umumnya. Menggunakan bola bundar, memakai gawang, dibagi dalam dua tim, dan sebagainya.

Perbedaan mencolok ada pada ukuran lapangan yang lebih kecil dari sepak bola biasa. Tempat bermainnya pun menggunakan rumput sintesis. Dan yang paling signifikan adalah dimainkan di dalam ruangan. Meski ada yang dibuat di lapangan terbuka, tapi yang populer adalah di lapangan tertutup.

Kenapa lebih populer? Karena dengan begitu, setiap orang bisa bermain bola setiap saat. Tidak terhalang malam hari yang gelap. Kebanyak lapangan futsal indoor-pun dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti tempat ganti, toilet, kafe, bahkan food court.

Tidak berapa lama sejak futsal dikenalkan pada masyarakat Jakarta, masyarakat pun berbondong-bondong untuk menjajalnya. Lapangan futsal didirikan di mana-mana. Bukan hanya anak-anak, euporia futsal pun turut menyeret beberapa kalangan selebriti dan orang-orang kantoran untuk memainkannya.

Futsal sendiri diciptakan di Montevideo, Uruguay, pada tahun 1930 oleh Juan Carlos Ceriani. Keunikan Futsal mendapat perhatian di seluruh Amerika Selatan, terutama di Brasil. Ketrampilan yang dikembangkan dalam permainan ini dapat dilihat dalam gaya terkenal dunia yang diperlihatkan pemain-pemain Brasil di lapangan berukuran biasa. Pele, bintang terkenal Brasil, contohnya, mengembangkan bakatnya di Futsal.

Sementara Brasil terus menjadi pusat Futsal dunia, permainan ini sekarang dimainkan di bawah perlindungan FIFA di seluruh dunia. Dari Eropa hingga Amerika Tengah dan Amerika Utara serta Afrika, Asia, dan Oseania.

Pertandingan internasional pertama diadakan pada tahun 1965. Paraguay menjuarai Piala Amerika Selatan pertama. Enam perebutan Piala Amerika Selatan berikutnya diselenggarakan hingga tahun 1979 di mana semua gelar juaranya disapu Brasil. Brasil meneruskan dominasinya dengan meraih Piala Pan Amerika pertama tahun 1980 dan memenangkannya lagi pada perebutan berikutnya tahun pada 1984.

Kejuaraan Dunia Futsal pertama diadakan atas bantuan FIFUSA (sebelum anggota-anggotanya bergabung dengan FIFA pada tahun 1989) di Sao Paulo, Brasil, tahun 1982. Berakhir dengan Brasil di posisi pertama. Brasil mengulangi kemenangannya di Kejuaraan Dunia kedua tahun 1985 di Spanyol, tetapi menderita kekalahan dari Paraguay dalam Kejuaraan Dunia ketiga tahun 1988 di Australia. Pertandingan Futsal internasional pertama diadakan di AS pada Desember 1985.

Perlu ditambahkan bahwa banyak pemain-pemain sepakbola ternama dunia seperti Pele dan Ronaldo memulai permainan sepakbola mereka di olahraga Futsal.

Futsal dan RTH
Selain kolam renang, mungkin sarana olahraga yang paling banyak dikunjungi masyarakat adalah lapangan futsal. Masyarakat saat ini sedang demam futsal.

Animo penggemar futsal pun membuahkan semakin banyaknya lapangan-lapangan futsal dibangun - baik indoor maupun outdoor. Setiap yang ingin bermain futsal diwajibkan untuk membayar per jamnya dengan kisaran dari Rp 100 – 250 ribu.

Memang, lapangan-lapangan futsal ini memberikan alternatif sarana berolahraga buat warga Jakarta. Tapi, dengan angka tersebut, tidak semua orang dan kalangan bisa bermain di sana. Lapangan olahraga ini dikomersilkan. Inilah sisi lain dari ketersediaan sarana olahraga di Jakarta. Minim gratisan.

Melihat maraknya bangunan lapangan futsal, sayangnya sebagian besar dibangun di dalam ruang. Padahal, bila disangkupautkan pada ketersediaan RTH (Ruang terbuka Hijau) di Jakarta, seharusnya lapangan sepak bola menjadi penyumbang RTH. Tapi, karena lapangan futsal banyak dibangun di ruang tertutup, hal itu menjadi lain soal.

Jakarta sebenarnya kekurangan RTH yang berguna buat kegiatan olah raga dan kesehatan warganya. Pemerintah sendiri, menurut jejak pendapat yang dilakukan harian Kompas pada tahun 2002, tidak pernah serius mengolah dan membangun fasilitas olahraga buat warganya. Sekitar 65,1 persen fasilitas fisik lapangan olahraga tidak memadai dan tidak layak pakai.

Masih dikutip dari harian yang sama, arsitek lanskap, Nirwono Joga juga mengatakan, lapangan olahraga merupakan komponen utama RTH kota atau paru-paru kota yang membuat kota menjadi sehat. Ketersediaan RTH berupa lapangan olahraga atau taman kota di sekitar lingkungan permukiman merupakan sarana olahraga yang efektif bagi anak-anak hingga orang dewasa, pas sekali dengan moto memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat.

Jadi, jika seseorang rajin berolahraga teratur, dijamin tubuhnya sehat. Itu analogi warga sehat yang tinggal di kota yang paru-paru kotanya juga sehat.
Berdasarkan KTT Bumi di Rio de Janeiro (1992) dan Johannesburg (2002) telah ditetapkan luas RTH ideal kota sehat minimal 30 persen dari total luas kota.

Namun, bagi Kota Jakarta, itu tinggal mimpi belaka, karena yang terjadi justru penurunan target RTH, mulai dari Rencana Induk Djakarta 1965-1985 seluas 37,2 persen, Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005 seluas 25,85 persen, dan kini Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2000-2010 seluas 13,94 persen (9.545 hektar), dengan kondisi di lapangan hanya 9,04 persen (6.190 ha) dari total luas Kota Jakarta 66.152 ha.

Sarana Olahraga dan Bisnis
Futsal menjadi lahan bisnis? Memang begitu adanya. Sama halnya dengan sarana olahraga lain yang disewakan kepada masyarakat. Sebut saja seperti kolam renang, lapangan bulutangkis, bahkan golf.

Tidak berimbangnya kebutuhan dan ketersediaan sarana olahraga membuat bisnis lapangan futsal menjadi menggiurkan. Meski modal pembuatannya memakan dana ratusan juta rupiah, namun karena animo masyarakat yang tinggi, modal pun bisa kembali sekitar 1 – 2 tahun.

Masyarakat yang merasa punya uang sendiri, tidak keberatan bila harus membayar demi bermain futsal. Karena mereka pun memang memiliki kebutuhan untuk bermain bola. Di sinilah nilai ekonomisnya , pebisnis jeli menangkap antara kebutuhan masyarakat dan ketersediaan sarana olahraga.

Belum lagi kalau olahraga futsal masuk dalam ranah budaya populer dan memengaruhi gaya hidup masyarakat perkotaan. Seperti halnya makanan fast food, meski banyak literatur yang mengatakan makanan tersebut tidak sehat, tetap saja gerainya dipadati masyarakat.

Para pebisnis yang menjadikan lapangan futsal sebagai lahan mencari uang bukanlah terdakwa. Ini karena memang pemerintah sendiri tidak bisa menyediakan sarana olahraga buat masyarakatnya. Kalaupun ada, ya apa adanya. Tempat seadanya dan fasilitas sejadinya. Alih-alih masyarakat mau giat berolahraga, melihatnya saja mungkin sudah malas.

Read More ..

Ketika Tahu Tempe Menciut dan Hilang

Belum usai krisis minyak tanah karena konversi bahan bakar tersebut menjadi gas, rakyat kini menghadapi masalah lain. Tahu tempe yang merupakan “makanan rakyat” kembali raib di pasaran. Produsen dan pedagang tahu tempe berunjuk rasa memprotes mahalnya harga bahan baku kacang kedelai (Senin, 14/01).


Di Meruya, kalau kita melihat tukang gorengan di pinggir jalan, tempe dan tahu goreng yang biasanya paling banyak dijajakan, nyaris tidak dijual. Kalau pun ada, mereka bilang, “itu sisa stok kemarin. Belum dapat lagi.”

Tempe dan tahu “sisa” itu juga sudah tak berukuran “normal” lagi. Para pedagang tersebut sudah menciutkan. Biar bisa “mengakali” keuntungan. “Kalo ngga begitu, kita ngga dapet untung,” cetus seorang pedagang di persimpangan Perumahan Taman meruya.

Sebelum sampai ke pedagang gorengan, ternyata tempe dan tahu juga sudah “disunat” oleh produsen tahu tempe. Mereka tak tahan dengan harga kedelai yang mencapai Rp300 – 400 ribu per kuintal atau naik 100% (republika.co.id)

Ada apa dengan tahu tempe? Padahal kedua penganan ini bisa dibilang sudah menjadi lauk pokok orang kebanyakan di Indonesia. Selain lebih murah, tahu dan tempe yang memiliki berbagai unsur bermanfaat untuk tubuh, bahkan terlanjur menjadi simbol penganan rakyat miskin.

Inilah yang menjadi masalah. Penganan untuk rakyat miskin. Apa yang dimakan oleh mereka bila tahu tempe menjadi mahal. Belum hilang masalah minyak tanah yang sulit didapat, kini penganan favorit mereka pun terancam punah.

Negara ini sepertinya bukan bertambah baik untuk rakyatnya. Masyarakat malah semakin terancam kehidupannya. Jauh dari kata makmur, sejahtera, dan bahagia secara ekonomi. Negara ini semakin kapitalis, semakin mementingkan orang-orang kaya, tidak peduli dengan jeritan orang-orang miskin.

Pejabat dan pengusaha yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak mau pusing lagi memutar otak. Bila ada kesulitan, mereka tak mau ruwet, tinggal naikan harga saja. Mereka tidak mau tahu bila rakyat semakin susah mencari makan.

Bila tahu tempe hilang di pasaran, bila tahu tempe mahal harganya, apa yang bisa menggantikannya? Memang kita bisa menggantinya dengan lauk lain, tapi apa? Apakah penggantinya memiliki kandungan sehebat tahu tempe?

Sepertinya yang menjadi kegemaran rakyat miskin dibuat semakin susah didapat. Minyak tanah, masyarakat harus mengantri panjang, itu pun harganya mahal. Tahu tempe, harganya mahal, dan itu pun ukurannya sudah semakin kecil. Hmmm…


Read More ..

Kolam Renang


Paling Banyak Dikunjungi, Tapi…

Kolam renang adalah tempat yang paling banyak dikunjungi orang-orang ketika mengajak keluarganya berekreasi. Lokasinya biasa bertempat di sport center dan berada di lingkungan perumahan. Tapi, sayangnya masih ada tempat rekreasi tersebut yang jorok, terutama tempat bilas atau kamar mandinya.


Bukan hanya itu, terkadang ada pula hal-hal yang dianggap kecil seperti gantungan pakaian yang seharusnya tersedia kerap susah ditemukan di tempat ini. Bayangkan kalau tempat gantungan tersebut tidak ada, tapi kita sudah terlanjur membuka pakaian, terpaksa kita harus menggantungnya di pintu atau dinding tempat ganti yang biasanya dibuat terbuka di atasnya.

Ini bukan hanya menyusahkan pengunjung, tapi juga bisa mengundang tindak kejahatan pencurian dan kemungkinan uang atau dompet terjatuh dari saku celana yang kita gantung. Hal ini memang terkesan sepele, tapi gambaran inilah yang sering terlihat ketika mengunjungi kolam renang.

Belum lagi masalah antrian membilas yang meski tidak sampai berjam-jam, tapi menunggu di saat basah bukanlah hal yang menyenangkan. Bisa-bisa kita masuk angin.

Kemudian juga mengenai faktor kebersihan dari kolam renang itu sendiri. Hampir di semua tempat atau sport center pasti menyediakan kolam renang untuk dewasa dan anak-anak. Tapi, kebersihan kolam renang dewasa dan anak-anak sepertinya tidak sama.

Kolam renang anak terlihat lebih kotor dan banyak serpihan sampah. Memang anak-anak lebih susah di atur dan mungkin belum tahu bagaimana menjaga kebersihan. Entah setelah dia keluar kolam langsung lari ke foodcourt atau tempat bernaung orang tuanya kemudian masuk lagi ke kolam tanpa membilas kakinya hingga membuat kolam kotor.

Tapi, seharusnya pihak pengelola kolam renang sudah mengantisipasinya. Misalnya, dengan membuat tempat bilas kaki yang biasanya ada di pinggir kolam renang lebih lebar. Sehingga sebelum masuk kolam, anak bisa membersihkan kakinya lebih lama. Atau juga dengan membuat jadwal penggantian air lebih sering lagi dan dilakukan sebelum hari-hari penuh pengunjung.

Jika kolam renang untuk anak tidak bersih, apa yang ditakutkan? Begini, kolam renang anak itu kan, biasanya dipenuhi anak-anak balita. Mereka itu memang lagi senang-senangnya dengan air. Apalagi berenang di kolam yang lebih besar dari bak mandinya.

Di kolam tersebut mereka akan menceburkan diri sesuka hatinya. Mencoba menyibak dan memukul air, bahkan berlari dan melompat. Dengan begitu tentunya air akan tersibak ke segala arah dan bukan tidak mungkin akan kena mata mereka dan terminum. Nah, di sinilah permasahannya, kenapa setiap kolam renang itu harus bersih, jauh dari kotoran.

Penulis sendiri pernah punya pengalaman bagaimana melihat anak berumur satu tahun senang sekali merasakan air kolam renang. Padahal air tersebut terlihat kotor dan banyak anak-anak lainnya yang mungkin melakukan hal yang sama.

Memang katanya, setiap kolam renang sudah diberikan anti bakteri yang mampu membunuh kuman di dalam air. Tapi, siapa yang bisa mendeteksi dan menjamin bahwa dalam sebuah kolam renang bebas dari bakteri?

Nah, di sinilah dituntut peran orang tua untuk selalu tetap memperhatikan dan menjaga anak-anaknya. Dengan memberinya pengertian mengenai “air kotor” dan akibat yang bisa ditimbulkan ketika meminumnya, baik disengaja atau tidak.

Meskipun tidak mudah memberi pengertian pada anak-anak, tapi lambat laun, anak akan mengerti dan tahu. Tapi, akan lebih baik lagi kalau kita sebagai orang tua mencari tempat renang yang memang terjamin kebersihannya. Seperti kata pepatah, ”mencegah lebih baik, dari pada mengobati.”

Read More ..

Hutan Kota, Hutan Rekreasi

Tempat rekreasi ini mungkin tak sepopuler sport center yang menawarkan berbagai fasilitas modern. Banyak masyarakat yang tidak tahu tempat ini. Padahal lokasinya bisa memberi kesejukan dan udara sehat yang diperlukan tubuh kita.


Dulu tempat ini adalah tempat pembuangan sampah dan terletak di pinggir sungai. Tapi sekarang, telah dirubah menjadi tempat tumbuhnya berbagai varitas pepohonan. Karena rimbunnya, tempat ini pun menjadi hutan tengah kota yang berfungsi sebagai paru-paru Jakarta.

Tidak sulit mencari tempat rekreasi yang dinamakan Hutan Kota Srengseng ini. Meskipun lokasinya agak menjorok ke dalam perkampungan, tapi akses masuknya mudah di dapat.
Kita bisa melalui Jalan Kelapa Dua atau Jalan Srengseng dan masuk ke dalam Gang H Kelik. Tinggal mencari jembatan aliran Sungai Pesanggrahan, kita sudah bisa melihat pintu masuk Hutan Kota Srengseng.

Hari Sabtu atau Minggu, hutan kota dipakai untuk berolah raga. Ada yang memang berniat untuk jogging dengan pakaian lengkap, tapi ada juga yang datang ala kadarnya. Sekedar berjalan-jalan pagi bersama anak sambil melepas kepenatan aktivitas sehari-hari.

Di halaman parkir biasanya terdapat penyewaan mobil elektrik yang disewakan sekitar Rp3000/15 menit. Anak-anak banyak yang menyenangi permainan tersebut. Orang tua bisa menuntun anaknya dari jauh karena mobil-mobilan tersebut memang menggunakan pengendali jarak jauh (remote control).

Akh, inilah saatnya anak-anak berekreasi. Mereka bisa menikmati wisata mobil-mobilan tersebut. Kalau memang bosan, mereka pun bisa bermain di arena main yang baru dibangun beberapa tahun belakangan. Di sana, anak bisa main perosotan, pasir, jungkit-jungkit dan lainnya.

Tapi sayangnya, tempat bermain tersebut terlihat tidak terawat. Ada permainan perosotan yang sudah bolong, jadi tidak bisa dipakai lagi.

Jika lapar, kita tidak perlu bingung. Banyak pedagang ketoprak, mie rebus, kue pancong, atau penjual teh botol di tempat tersebut. Harganya tidak mahal, tapi perhatikan kebersihannya. Akan lebih baik kalau kita membawa makanan sendiri. Selain terjamin higienitasnya, kita pun tidak perlu mengeluarkan uang lagi.

Satu yang perlu kita waspadai, nyamuk. Karena pepohonan di sini cukup rimbun dan tinggi terkadang banyak nyamuk yang mengganggu kita. Kalau tidak mau memakai obat anti nyamuk, banyak-banyaklah bergerak agar nyamuk tidak menggigit kita.

Disalahgunakan
Bila kita masuk lebih dalam, kita akan menemui danau seluas 700m2 dengan pulau kecil di tengahnya. Danau ini biasanya dijadikan tempat memancing sekaligus tempat berteduh yang nyaman.

Saking nyamannya, banyak orang yang menyalahgunakan sebagai tempat pacaran atau bolos sekolah. Inilah yang perlu dicermati. Dari sekian banyak pengunjung hutan kota, 70%-nya adalah anak-anak muda. Maka tidak heran kalau banyak terlihat anak-anak muda atau anak-anak sekolah yang masih berpakaian seragam mendatangi tempat ini.

Oleh karena itu, hutan kota sempat diisukan sebagai tempat bolos sekolah, pacaran bahkan sebagai tempat prostitusi atau Narkoba. Tapi, menurut penjaga hutan kota, isu tersebut tidaklah benar. “Wah, kalau itu sih, tidak benar. Saya yang menjaga tempat ini hampir selama 24 jam, saya tahu persis apa yang terjadi di sini. Itu tidak benar,” tegas Anwar.

Seandainya hal tersebut memang benar-benar terjadi, bukan hanya masalah pelestarian hutan dan penghijuan saja yang dihadapi pemerintah dan masyarakat, tapi juga masalah sosial dan kenakalan remaja.

Pemerintah dan masyarakat harus mengambil tindakan preventif dan bahu membahu dalam mengawasi dan mengembalikan fungsi hutan kota, jangan sampai hutan kota menjadi surga maksiat dan “anak nakal”.


Read More ..

Ready, Pray, and Action

Ulang tahun sama saja dengan ulang detik, ulang jam, ulang hari, sampai dengan ulang abad, dan terakhir ulang milenium. Satuan waktu tersebut hanya untuk mengingatkan di mana kita berpijak sekarang dan merupakan pengulangan.


Ketika kecil, kita sangat senang bila hari dan bulan lahir kita mengulang di tahun yang lain. Orang tua menyiapkan pesta, mengundang teman sebaya, dan memberi hadiah buat yang berulang tahun.

Sebaliknya, kita pun akan menyiapkan diri, bermimpi mendapat kado istimewa, dan berharap banyak teman-teman yang datang.

Tapi, bukan hanya hadiah dan gemerlap pesta yang menjadi esensi utama sebuah perayaan ulang tahun. Di situ ada doa, harapan, keinginan, dan saatnya mengintropeksi diri sambil melihat ke belakang. Mengingat apa yang tertinggal dan target yang harus disiapkan di tahun-tahun berikutnya.

Akh, tapi apa anak kecil sudah bisa memikirkan hal-hal tersebut? Anak-anak itu paling hanya berkhayal mendapat mainan favorit mereka atau makan kue tart sebanyak-banyaknya. Mereka belum tahu yang namanya target atau intropeksi diri.
Memang, tapi bila AdInfo Puri yang berulang tahun, semua itu sudah matang dipikirkan.

Kami memiliki doa, harapan, dan keinginan menjadi media komunitas terbaik yang bisa memberikan informasi berskala komunitas terkini. Pun bisa menjadi satu-satunya referensi bisnis komunitas yang terpercaya di wilayah Puri Indah, Kembangan, Kebon Jeruk, dan sekitarnya.

Namun, semuanya bukan hanya tinggal doa, harapan, dan keinginan, Adinfo Puri sudah mengambil langkah dan tindakan untuk mewujudkan semua itu.

Di antaranya dengan mempopulerkan blog AdInfo Puri dengan alamat www.adinfopuri.blogspot.com yang bisa diakses melalui internet. Sehingga informasi dan artikel bukan hanya bisa dilihat masyarakat komunitas yang terbatas, tapi juga bisa dibaca oleh semua orang di luar komunitas.

Bukan hanya itu, artikel yang sedianya terdapat di versi majalah pun akan lebih cepat diterbitkan melalui blog tersebut. Pendek kata, edisi terbaru AdInfo Puri versi blog lebih cepat terbit dibanding versi majalah.

Interaksi antar pembaca dan AdInfo Puri pun kian dekat dan efektif dengan blog tersebut. Masyarakat pembaca dapat langsung bertanya bila ingin tahu lebih banyak mengenai artikel yang dibacanya. Di situ, antar pembaca, AdInfo, dan pembaca lainnya bisa berdiskusi, berbagi pengalaman & informasi, atau mungkin berkenalan.

Selebihnya, blog tersebut bisa menjadi dokumen maya buat mereka yang misalnya, lagi mencari tempat makan sea food atau sekedar mencari tips kesehatan, keluarga, bahkan seksualitas yang pernah dilihatnya di edisi lalu.

Tidak cukup sampai di situ, AdInfo Puri pun sudah menyiapkan “kado” istimewa berupa buku panduan pendidikan dengan label “Education Guidance”.

Sejak diterbitkan awal 2004 lalu, AdInfo Puri mencermati bahwa laju sektor pendidikan di komunitas Puri Indah dan sekitarnya terlihat sangat cepat dan pesat. Misalnya sekolah, selain jumlahnya terus bertambah, banyak yang menambah kapasitas gedungnya, baik dengan memperluas atau membangun kembali gedung sekolah di lokasi baru.

Indikasi lain terlihat saat awal tahun dan sebelum permulaan tahun ajaran baru, sekolah-sekolah gencar melakukan promosi. Mereka terus membangun imej nama sekolahnya agar tetap diingat masyarakat.

Begitu juga dengan tempat pendidikan informal semacam tempat kursus. Perkembangannya tidak kalah signifikan dengan sekolah-sekolah formal. Tempat pendidikan luar sekolah ini menyebar cepat dengan berbagai spesialisasi.

Pembelajaran bidang bahasa, komputer, seni, olah raga, dan bimbingan belajar merupakan bermacam pilihan tempat pendidikan informal dimaksud.

Dengan alasan di atas, bertepatan dengan hari jadinya yang ke-4, AdInfo Puri menerbitkan “Education Guidance” yang memuat beberapa profil sekolah dan tempat kursus yang berlokasi di Puri Indah dan sekitarnya.
Tingkat pendidikan yang menjadi objek dalam buku ini adalah usia dini.

Sekolah-sekolah anak Balita tesebut paling banyak bertumbuh di komunitas Puri Indah.
“Education Guidance” dilengkapi beberapa artikel yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Artikel tersebut bisa menjadi panduan dan tambahan pengetahuan masyarakat ketika membutuhkan pendidikan untuk anak-anak mereka.

Pilihan tempat pendidikan memang banyak, tapi justru dengan begitu, masyarakat akan lebih sulit memilih. Dengan adanya buku panduan pendidikan ini diharapkan masyarakat akan lebih mudah menentukan tempat pendidikan terbaik buat putra-putrinya.

Sampai di sini, itulah doa, harapan, dan keinginan yang diejawantahkan dalam tindakan serta langkah inovatif. Ulang tahun bukanlah hanya mengulang hari, tapi saatnya Ready, Pray, and Action !

Read More ..

Hibrida Media Komunitas

Bagaimana pun juga, peradaban manusia pasti akan menemukan cara sendiri dalam berkomunikasi. Ketika huruf latin seperti sekarang ini belum tercipta, masyarakat menggunakan huruf-huruf lain yang sesuai dengan jamannya.



Ada bangsa yang menciptakan bahasa hampir sama, tapi ada juga yang menggunakan huruf berbeda dengan masyarakat lainnya. Seperti bahasa arab yang sama sekali berbeda dengan abjad huruf latin. Begitu juga dengan Hanacaraka yang digunakan orang-orang Jawa di masa lampau.

Namun, karena di dunia ini bukan hanya satu bangsa saja yang tinggal dan semakin tingginya interaksi di antara penghuni bumi, maka diciptakanlah bahasa yang universal. Sebuah bahasa yang bisa dimengerti orang banyak di belahan bumi mana pun.

Dalam tekhnologi informasi, berlaku hukum yang sama. Manusia menciptakan teknologi komunikasi yang murah, mudah dan dapat diakses oleh semua orang. Manusia mencari cara agar cakupan komunikasinya tak hanya sejengkal tanah.

Kita sebut saja internet sebagai salah satu output teknologi informasi. Sekarang ini, banyak orang sangat bergantung dengan internet dalam mencari informasi, diluar dari mengerti atau tidak, mahal atau murah, ada atau tidaknya akses internet.

Bila kita ingin mencari informasi pengungsi di pinggiran rel kereta api Rawa Buaya karena banjir kemarin atau tercemarnya kawasan Tean, Korea Selatan, karena tercemar minyak mentah akibat tertabraknya kapal tanker Hebei Spirit yang memuat 260.000 ton minyak mentah, caranya adalah melalui internet. Kita bisa mendapatkannya di berbagai website dan dalam waktu yang tidak lama.

Itu kalau kita ingin mencari informasi, bagaimana kalau kita ingin memberi informasi? Kita ingin punya halaman sendiri di website, menulis apa pun tanpa harus melewati berbagai halangan, termasuk masalah biaya dan waktu.

Sebelum meneruskan tulisan ini, saya mau cerita. Belum lama, saya baru saja makan ayam goreng tiga rasa di kawasan Meruya. Di sana, tanpa sengaja, saya mendengarkan konten pembicaraan dari tiga orang yang kebetulan menyantap menu yang sama dengan saya, paha ayam goreng dan empela ati.

Mereka bertiga masih muda, paling-paling berumur 20 tahunan. Tebak, apa yang mereka bicarakan sambil menikmati ayam gorengnya? Bukan karena lezatnya apa yang mereka makan atau sering salahnya pelayan ketika menyediakan minum, tapi yang dibicarakan adalah BLOG!

Seumuran mereka, sosok blog sudah tidak asing lagi. Mereka sudah mampu membuat halaman sendiri di dunia maya yang dapat dibaca oleh orang sedunia. Mereka bisa menuangkan uneg-unegnya karena seringnya macet di Kembang Kerep atau menulis betapa jahat kawannya karena merebut pacarnya. Apa pun bisa disampaikan dan diekspresikan langsung melalui blog.

Kembali ke tulisan sebelum cerita saya, apakah ada fasilitas di internet yang bisa mewadahi keinginan masyarakat dalam memberi berbagai informasi? Jawabnya adalah obrolan di warung tenda tadi. Kita bisa saja membuat berita atau informasi dan meng-up load ke internet melalui blog.

Apa itu blog? Buat yang belum mengerti blog, sedikit saya ceritakan tentang tren baru di internet tersebut.

Menurut Enda Nasution’s Weblog, blog adalah kependekan dari Weblog, istilah yang pertama kali digunakan Jorn Barger pada Desember 1997. Jorn Barger menggunakan istilah Weblog untuk menyebut kelompok website pribadi yang selalu di-update secara kontinyu dan berisi link-link ke website lain yang mereka anggap menarik disertai dengan komentar-komentar mereka sendiri.

Blog kemudian berkembang mencari bentuk sesuai dengan kemauan para pembuatnya atau para Blogger. Blog yang pada mulanya merupakan “catatan perjalanan” seseorang di Internet, yaitu link ke website yang dikunjungi dan dianggap menarik, kemudian menjadi jauh lebih menarik dari pada sebuah daftar link.

Hal ini disebabkan karena para Blogger biasanya juga tidak lupa menyematkan komentar-komentar “cerdas” mereka, pendapat-pendapat pribadi dan bahkan mengekspresikan sarkasme mereka pada link yang mereka buat.

Media blog pertama kali dipopulerkan Blogger.com, yang dimiliki PyraLab sebelum akhirnya diakuisi Google Inc pada akhir 2002 lalu. Semenjak itu, terdapat banyak aplikasi-aplikasi yang bersifat sumber terbuka yang diperuntukkan pada perkembangan para penulis blog tersebut.

Blog mempunyai fungsi yang sangat beragam, dari sebuah catatan harian, media publikasi dalam sebuah kampanye politik, sampai dengan program-program media dan perusahaan-perusahaan. Sebagian blog dipelihara oleh seorang penulis tunggal, sementara sebagian lainnya oleh beberapa penulis.

Sudah mengerti? Kalau belum tahu juga, coba buka www.adinfopuri.blogspot.com, atau www.puri.co.nr itulah yang dinamakan blog. Majalah AdInfo memiliki blog sebagai cara lain menyampaikan berita dan informasi, selain versi cetaknya. Di situ semua orang bisa melihat apa saja berita-berita yang diliput wartawan termasuk konten Majalah AdInfo.

Blog & Citizen Journalism
Kini blog sudah dimanfaatkan banyak orang untuk berbagai kepentingan. Bahkan artis dan menteri di jajaran kabinet SBY pun ada yang memanfaatkan blog sebagai sarana komunikasi mereka. Bahkan saat ini telah ada Kementerian Desain RI yang memiliki blog dengan alamat www.menteridesainindonesia.blogspot.com.

AdInfo sebagai sebuah media konvensional menyikapi kehadiran blog sebagai sebuah budaya digital baru yang perlu direngkuh. Menganggapnya bukan sebagai pesaing dalam cara memberikan informasi kepada masyarakat, tapi meliriknya sebagai jalan transformasi menuju media massa digital.

Kesibukan masyarakat yang kian tinggi mengharuskan AdInfo menambah akselerasi mengimbangi mobilitas pembacanya. Mereka yang terbiasa di depan komputer dan menggunakan internet, tidak perlu lagi menunggu sampai ke rumah bila ingin membaca Majalah AdInfo. Cukup dengan mengakses alamat blog di atas.

Bagi AdInfo sendiri, dengan blog tersebut, proses penyampaian informasinya menjadi lebih cepat. Cepat karena semua wartawannya memiliki akses untuk meng-up load beritanya termasuk via handphone. Wartawan tidak memerlukan waktu lama untuk menjadi Blogger karena blog cukup mudah dipelajari.

Karena mudahnya itulah blog sekarang ini sudah memiliki jutaan pengikut, apalagi ada blog yang berbahasa Indonesia. Di Indonesia sendiri, jumlahnya cukup banyak, aktivitasnya pun terbilang tertinggi se-Asia Pasifik.

Kembali kepada blog AdInfo, di sana, pembaca bukan hanya bisa membaca artikel, tapi mereka pun bisa saja memberikan komentar atau menanyakan berbagai hal yang bersangkutan dengan artikel. Inilah yang menjadi kunci utama dari kehadiran blog. Bisa menghidupkan interaksi dua pihak.

Dengan interaksi yang interaktif tersebut, diharapkan akan lebih memberi arti baru dari sebuah media massa. Proses pemberian informasi pun tidak melulu hanya dari satu pihak, tapi bisa dari berbagai pihak dalam lingkup yang bisa diciptakan pembacanya sendiri.

Sampai di sini, pembaca dapat menjadi sumber informasi lain dari artikel atau topik yang sedang dibicarakan. Mereka bisa menambahkan informasi guna mencari kebenaran akan suatu hal. Masyarakat atau pembaca bisa jadi pewarta.

Mengesampingkan masalah benar atau tidak kadar informasinya, masyarakat sebenarnya bisa menjadi pembawa berita yang bermanfaat buat pembaca lain. Dalam dunia jurnalistik sekarang ini, ada yang dikenal dengan citizen journalism yang memungkinkan warga menjadi reporter (netizen).

Di situ, masyarakat bisa membuat artikel menarik, unik, dan informatif dari apa yang dilihat dan dirasa, baik dari lingkungannya sendiri atau tempat lain.

Wadahnya tidak lain adalah internet seperti halnya blog AdInfo tadi. Bedanya, di sini masyarakat bisa pro aktif memberitakan dalam bentuk tulisan, foto, atau video ke dalam sebuah website. Masyarakat akan mendapat akses khusus agar bisa mem-posting/mengirimkan beritanya.

Ke depan, AdInfo sendiri sedang menyiapkan kemungkinan tersebut dan sudah menyiapkan sebuah portal berita beralamat www.infokomunitas.com bekerja sama dengan banyak pihak sebagai penyedia konten. Di portal tersebut, masyarakat di masing-masing komunitas di mana AdInfo terbit, bisa menuangkan informasi, berita, keluhan, kritik, dan sebagainya dalam berbagai format.

Dengan kehadiran blog dan portal komunitas, AdInfo dengan sendirinya memiliki 2 platform dalam menyajikan informasi kepada masyarakat, versi online dan cetak. Dengan keduanya, AdInfo bisa merangkul banyak pihak, buat mereka yang belum familiar dengan internet dan mereka yang akrab dengan teknologi informasi tersebut.

Persilangan platform ini dilakukan karena untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang heterogen. Dan bisa saja, di hitungan tahun ke berapa, media konvensional punah diganti dengan media online seperti blog. Siapa tahu?

Read More ..

About This Blog

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP