Sindikat atau Masyarakatnya?

Sampai dengan tahun lalu, orang yang menyalahgunakan Narkoba berjumlah 4,3 juta jiwa. Setiap harinya, ada sekitar 41 orang meninggal karena Narkoba.

Saat ini, shabu atau ekstasi pun tidak lagi diimpor, tapi sudah bisa dibuat di dalam negeri. Pabriknya, bukan di tempat terpencil, tapi di perumahan, ruko, atau apartemen yang notabenenya dekat dengan masyarakat.

Sudah beberapa kali polisi berhasil menggerebek pabrik Narkoba yang berlokasi di daerah pemukiman. Di Jakarta Barat, bisa disebutkan Ruko Palem Lestari, Cengkareng, yang dijadikan pabrik Narkoba dengan berkedok Warnet atau Perumahan Taman Ratu, Kebon Jeruk, yang dikamuflase menjadi pabrik dengan jaringan internasional.

Sindikat pengedar Narkoba juga tidak lagi memilih tempat pembuatan yang diasumsikan kebanyakan orang sebagai tempat yang “aman”. Mereka memanfaatkan kelengahan konsentrasi aparat keamanan dan berani berspekulasi dengan mendirikan pabrik di tengah masyarakat.

Sepertinya, pergeseran sistem sosial yang ada di masyarakat dimanfaatkan oleh sindikat tersebut. Masyarakat yang individualis dan bersikap toleran tidak pada tempatnya, adalah lokasi yang bagus untuk pembuatan dan pengedaran Narkoba. Pembatas kegiatan kriminal mereka bukan lagi tembok dan pagar yang tinggi, tapi sifat individual dan ego masyarakatlah yang dijadikan border mereka dalam beroperasi.

Makanya, sering kali ketika terungkap pabrik pembuatan yang ada di wilayah pemukiman, banyak masyarakat sekitarnya yang terkejut. Merasa heran, tidak tahu, dianggap tidak masuk akal. Bahkan, pengurus RT dan RW pun ada yang kebobolan mengindentifikasi warga yang tinggal di wilayahnya.

Begitu juga dengan peredaran dan pengguna Narkoba. Peran serta masyarakat menjadi salah satu kunci pencegahan dan pemulihan para pengguna agar berhenti mengonsumsi Narkoba. Meski ada aparat keamanan, tapi bila masyarakat ikut andil, maka hasilnya akan lebih maksimal.

Melihat fenomena di atas, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) menggelar “Festival Kampung Kite Bersih Narkoba” mulai 12 Oktober hingga 22 Desember 2009. Festival ini kira-kira diikuti oleh 2.671 RW yang tersebar di lima wilayah ibu kota.

Penilaian dari lomba tersebut ada dua macam, yaitu dilihat dari sisi kuantitas dalam upaya menanggulangi Narkoba di lingkungannya serta kualitas warga di lingkungan RW tersebut yang bersih dari jeratan Narkoba. Pengawasannya akan dilakukan Badan Narkotika Provinsi (BNP) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan melibatkan LSM bidang pencegahan Narkoba.

Ujung tombak pelaksanaan festival ini adalah organisasi karang taruna di setiap wilayah. Remaja yang biasanya menjadi korban, dijadikan “senjata” untuk memantau peredaran dan pengguna Narkoba. Mereka (remaja) dituntut kreatif dalam membuat program pencegahan peredaran dan menghapus Narkoba dari wilayahnya.

Bila program ini memang benar-benar berjalan, berarti setiap RW di Jakarta akan memiliki data yang akurat pengguna Narkoba. Setidaknya, akan terpantau wilayah mana saja yang kira-kira menjadi kantong-kantong pengguna “barang setan” ini. Sehingga tindakan pencegahan, rehabilitasi, dan sosialisasi dampak negatif Narkoba akan lebih tepat sasaran.

Cuma masalahnya, bagaimana pelaksanaan di wilayah yang tidak ada karang taruna dengan remajanya yang pasif? Bagaimana dengan daerah yang masyarakatnya individualis seperti disebutkan di atas? Paling-paling, festival ini hanya menjadi seremoni belaka atau sama halnya dengan kampanye anti-Narkoba lainnya, tanpa mengubah cara bersikap masyarakat dalam manangani masalah ini. Meski nantinya akan ada pemenang, tapi sepertinya bukan itu tujuan utama dari “Festival Kampung Kite Bersih Narkoba”.

Memang, segi positif memberdayakan remaja adalah menanamkan pada mereka –yang kebanyakan menjadi korban- untuk menghindari mengonsumsi Narkoba, tapi ada baiknya juga dibarengi dengan penataan kembali sistem sosial di masyarakat dan mengaktifkan kegiatan warga.

Misalnya, bila tidak ingin kerja bakti atau arisan warga, bagi mereka yang mengaku super sibuk, bisa membuat milist warga atau grup Facebook di internet yang digagas ketua RT/RW setempat. Hal tersebut juga sekaligus menyikapi perkembangan teknologi dan peradaban manusia.

Dari aktivitas online tersebut, akan terjalin tali silaturahim dan yang lebih penting adalah informasi lingkungan dan warga yang menempati wilayah. Sehingga kalau ada hal yang mencurigakan dalam satu lingkungan, warga bisa mengambil sikap dan melaporkan pada pihak berwajib.

Pada dasarnya, masyarakat juga tidak mau kalau wilayahnya dicap buruk atau menjadi sarang peredaran Narkoba. Tapi, di sini sepertinya harus ada ide yang lebih kreatif untuk memberantas Narkoba di lingkungan masyarakat. Bukan sekedar festival atau perlombaan yang hanya mencari pemenang.

Artikel Berkaitan

About This Blog

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP