Woro-woro Kampanye Online
Hiburan apa yang pasti ada ketika kampanye politik? Panggung dangdut! Jenis musik ini harus ada karena identik dengan rakyat jelata. Tokoh-tokoh politik mencari simpati dengan cara bernyanyi bersama, meski sering terdengar sumbang.
Tidak menjadi masalah, biar terdengar pales, dipaksakan agar terlihat kebersamaanya dan terkesan down to earth. Sambil bernyanyi, mereka menyuarakan suara partainya. Mudah-mudahan, rakyat yang lagi asyik-masyuk berdangdut ria mau memberi suara saat pencoblosan nanti.
Sekarang kita lihat kampanye Pemilu di Amerika Serikat. Tentu kandidat presiden di sana tidak memanggil artis dangdut dalam kampanyenya. Tapi, seperti Barrack Obama, dia menggunakan internet sebagai media kampanyenya. Sekaligus menangkap donatur yang ingin mendukung pencalonannya di Gedung Putih.
Obama memanfaatkan situs-situs interaktif sosial seperti Youtube, Facebook, Friendster, dan blog untuk menangkap massa. Belum lagi official website-nya. Di situ, masyarakat di negeri Paman Sam atau seluruh dunia, bisa melihat berita, kegiatan, bahkan merchandise yang mendukung pencalonannya.
Fenomena sukses kampanye online Obama banyak disorot masyarakat dunia. Tidak terkecuali di Indonesia. Beberapa partai politik pun sudah menyiapkan situs-situs online-nya untuk membantu memperebutkan suara rakyat dalam Pemilu 2009 nanti. Partai politik terinspirasi kampanye online Obama?
Coba saja cari melalui Google atau Yahoo, sebagian besar partai politik sudah menyiapkan situsnya. Meski tidak semua siap digunakan alias “maaf, situs ini masih dalam perbaikan”, namun gejala ini sudah menimbulkan perbedaan metode kampanye saat 5 tahun silam.
Partai-partai politik tersebut ingin menggapai suara pengguna internet. Sekaligus menggunakan teknologi informasi yang lebih modern. Tapi, apa pengguna internet di Indonesia sudah sebanyak di Amerika? Di negeri kita, hanya mereka yang hidup di perkotaan saja dan mereka yang memang kesehariannya bergelut dengan komputer yang melek dengan internet.
Kalau mau dihitung, pengguna internet di Indonesia hanya sekitar 25 juta orang sampai akhir 2007 lalu (www.apjii.or.id). Persentasenya tidak seberapa dibanding Amerika Serikat yang pengguna internetnya sudah hampir setengah populasinya.
Apalagi tingkat pendidikan kebanyakan masyarakat di sana berbeda dengan Indonesia. Mereka pun lebih aktif dalam berinteraksi sehingga komunikasi berjalan dengan lancar dan lebih “hidup”. Terlebih kebanyakan situs sekarang dibuat dengan model internet Web 2.0 yang bisa menyajikan informasi dua arah. Masyarakat bisa berdiskusi dan memberi komentar baik atau buruk.
Berbeda dengan di Indonesia, karena kebanyakan pengguna internet adalah anak-anak muda dibanding orang tua, mereka pun banyak yang memanfaatkan internet hanya untuk chatting atau bermain game online. Dari pada membuka situs partai politik, mereka pun lebih memilih chatting dengan temannya di dunia maya atau bermain Ragnarok.
Dengan begitu, populasi pengguna internet pun semakin menurun dan kemungkinan tersebarnya informasi dari situs partai politik pun melorot. Tinggal pengguna yang hobi surfing internet saja yang memiliki kemungkinan melihat retorika situs partai politik.
Belum lagi kalau situs-situs partai politik tersebut tidak dikelola dengan profesional. Entah yang masih dalam tahap under construction atau terdapat fitur-fitur yang tidak berfungsi. Kian malas masyarakat berlama-lama di situs partai politik.
Makanya, selain persiapan konten yang mampu “menyihir” opini masyarakat, partai politik juga harus menyiapkan infrastruktur dan sumber daya teknologi informasi yang mumpuni untuk masuk dalam kampanye online. Bukan hanya asal membuat situs atau jejaring sosial online.
Meski begitu, bukan haram namanya kalau partai politik memiliki situs. Sebagai sebuah media dalam berkampanye, tentunya sah-sah saja. Namun, buat di Indonesia sepertinya hal tersebut masih merupakan embrio cara berkampanye yang efektif.
Bukan saja tidak menyentuh masyarakat akar rumput, tapi internet masih merupakan “barang mahal” di Indonesia. Terlebih lagi kondisi ekonomi masyarakat sekarang ini masih terguncang dengan kenaikan harga BBM dan segala macam kebutuhan hidup.
Masyarakat kebanyakan akan lebih memilih melihat kampanye gratis dibanding harus menyewa sambungan internet di Warnet atau berlangganan koneksi. Ditambah lagi karena budaya berinternet memang masih belum populer di Indonesia.
Lain soal buat kader-kader partai politik. Mereka malah semakin terbantu dengan adanya internet. Koordinasi di antara anggota akan semakin cepat dan efektif. Apalagi buat mereka yang berada di luar pulau.
Pertarungan keras pun akan mengiringi kampanye partai politik melalui internet. Sifat komunikasi dua arah yang dimiliki internet seperti pisau bermata dua. Bisa mendukung, bisa pula mendorong jatuh.
Dalam dunia maya, setiap orang bisa saja memiliki pendapat yang berbeda. Berkata apa saja, bahkan menulis perkataan “jorok” sekali pun. Mendapat simpati publik melalui internet tidak semudah membagikan sembako atau money politic.
Bila kedua hal di atas, memang dibutuhkan oleh masyarakat. Sehingga doktrin-doktrin politik pun akan mudah diserap oleh yang menerimanya. Sedangkan melalu internet, murni intelektual partai politik dalam memengaruhi opini pengguna internet untuk mendukung partainya saat Pemilu nanti.
Sekali lagi, internet belum menjadi budaya pop di masyarakat Indonesia kebanyakan. Penetrasinya hanya sampai pada mereka yang berada di perkotaan di mana jaringan koneksi internet sudah tersebar. Itu pun tidak tersebar secara merata.
Apa gunanya kampanye online kalau memang tidak ada yang melihat. Akrabkan saja masyarakat dengan budaya yang dekat dengannya. Menggelar pentas dangdut seperti disebutkan di atas, misalnya. Tapi, bila itu pilihannya, tokoh politik yang akan naik panggung, harus mengambil kelas vokal dulu. Biar suaranya merdu, semerdu janji-janji kampanye.