Menasbihkan Maaf dan Mudik Sebagai Kultur
Tahun lalu, dan mungkin tahun ini juga, banyak orang bersalaman meminta maaf setelah sholat Ied. Menurut sebagian besar masyarakat, peleburan dosa akan lengkap setelah kita saling bermaafan secara horisontal -sesama manusia.
Bukan hanya dalam lingkup rukun tetangga atau rukun warga, tradisi saling bermaafan ini pun sudah berakar dalam tatanan keluarga. Anak meminta maaf pada orang tuanya, adik saling bermaafan dengan kakak dan saudara lainnya, adalah seremoni yang kerap terjadi di saat Lebaran.
Ditemani berbagai penganan seperti kue kering dan minuman beraneka warna, masyarakat banyak yang seperti berpesta pada hari itu. Merayakan kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa. Belum lagi sajian menu masakan khas seperti ketupat yang ditemani dengan opor ayam atau daging rendang. Sungguh, hari itu merupakan hari terindah dalam satu tahun berlalu.
Kebiasaan ini sudah lama dilakukan masyarakat Islam di Indonesia. Tidak tahu kapan dimulainya. Meski tidak ada hadits atau ajaran nabi Muhammad SAW yang menganjurkannya, tapi saling bermaafan saat Lebaran terus dilakukan sebagai rutinitas yang dianggap sakral.
Padahal, akibat kebudayaan itu, setiap menjelang Lebaran, harga-harga sembilam bahan pokok pasti naik karena tingginya permintaan pasar. Belum lagi adanya “tekanan” secara komunal untuk membeli dan menggunakan yang serba baru. Misalnya, menggunakan pakaian baru, sepatu baru, bahkan mobil, atau rumah baru.
Akibatnya, masyarakat pun menjadi lebih konsumtif dibanding hari-hari biasa. Bahkan, cenderung bertindak boros. Celakanya, trend ini dilakukan secara masif dalam waktu yang relatif bersamaan. Sehingga menimbulkan multipel efek seperti membludaknya orang di pusat perbelanjaan atau lubernya kendaraan di jalan-jalan yang menyebabkan kemacetan luar biasa.
Fenomena ini belum termasuk tradisi mudik yang banyak dilakukan masyarakat Jakarta. Bagi masyarakat pendatang, mudik saat Lebaran adalah keharusan. Mereka rela meski harus mengantri tiket transportasi sampai berhari-hari, bersabar di tengah kemacetan Jalur Pantura, atau menahan pegal karena harus membonceng anak istri dengan sepeda motor.
Semua itu mereka lakukan karena ingin bersilaturahim dan saling bermaafan di kampung halaman. Sadar atau tidak, apa yang mereka lakukan adalah hanya mengikuti tradisi, kultur, budaya yang dibuat oleh masyarakat sebelumnya. Kebiasaan saling memberi maaf yang seharusnya tidak hanya pada saat Lebaran, dikultuskan menjadi fatwa wajib. Padahal kata maaf bisa saja diberi atau diterima kapan saja, tidak harus menunggu Lebaran.
Bukan bermaksud mengharamkan tradisi “maaf” atau “pulang kampung” dalam Lebaran, tapi coba kita lihat dari sisi yang lebih baik. Apakah harus pulang mudik bersama istri dan anak berumur 2 tahun sementara tiket kereta api harganya melonjak 2 kali lipat dari biasanya dengan penumpang penuh sesak? Apakah harus pulang kampung mengendarai sepeda motor dengan mengorbankan kondisi badan kita karena harus menempuh jarak yang jauh? Belum lagi resiko kecelakan yang kerap menghantui di jalan.
Kondisi alat transportasi dan infrastruktur jalan sepertinya juga belum memungkinkan masyarakat berpergian secara bersamaan. Apalagi kalau dibanding dengan jumlah pemudik. Alih-alih mendapat kondisi yang nyaman, mendapat tempat duduk di kereta api atau bis saja, sudah terbilang untung.
Dalam prakteknya, esensi bulan Ramadhan yang identik dengan berpuasa dan sholat Taraweh pun seperti dinomerduakan. Kewajiban dalam berpuasa sering ditinggalkan dengan alasan karena harus berpergian jauh.
Memang, ada adrenalin tertentu menyelubungi masyarakat yang hijrah ke kampung halaman. Sehingga mereka tak menghiraukan hal tersebut, bahkan terus diulang dari tahun ke tahun. “Sengsara” di perjalanan, mereka ubah menjadi perasaan senang dan bahagia.
Secara logis, kita juga tidak akan mengerti kebiasaan tersebut, tapi itulah yang terjadi dalam kultur masyarakat Islam di Jakarta maupun Indonesia. Bila masyarakat (yang biasa pulang kampung-bermaafan saat Lebaran) tidak melakukan hal tersebut, mereka seperti merasa salah, melanggar tradisi, dan “berdosa” pada masyarakat.
Benar apa yang dikatakan Alasdair MacIntyre dalam After Virtue (1981), dia mencoba menunjukkan bahwa moralitas hanya dapat diberi pendasaran dengan mangacu pada tradisi-tradisi historis dengan kebiasaan-kebiasaan etis dan pandangan teleologis tertentu. Tidak ada moralitas an sich, yang ada hanyalah moralitas-moralitas menurut (tradisi atau komunitas) tertentu. Moralitas dipelajari lewat cara hidup komunitas tertentu.
MacIntyre juga mengatakan, apa yang saya pelajari sebagai pedoman tindakanku dan tolok ukur penilaiannya tak pernah moralitas sendiri, melainkan selalu sebuah moralitas sangat khas dalam tatanan sosial sangat khas.
Artinya, segala tindakan, kebiasaan yang dianggap benar adalah yang biasa atau sering dilakukan kebanyakan masyarakat/komunitas. Kita tidak bisa membuat/menilai tingkah laku atau perbuatan yang baik tanpa campur tangan dari masyarakat/komunitas.
Sama halnya dengan saling bermaafan saat Lebaran dan pulang mudik di atas, tradisi tersebut sudah menjadi moralitas yang sangat khas dalam tatanan sosial yang khas pula. Tidak bisa disangkal, meski sejatinya puasa dan Lebaran adalah aturan vertikal, tapi hal tersebut sudah terikat dengan tradisi masyarakat yang sepertinya malah lebih dominan mengatur masyarakat.