Portal dan “Polisi Tidur” Siap Mangkat
Dengan alasan menggangu kenyamanan pengguna jalan dan menghindari kesan eklusifitas, dalam waktu dekat, portal dan “polisi tidur” di kawasan pemukiman dan perumahan akan ditertibkan Pemda Jakarta. Paling cepat, dilakukan setelah Pilpres nanti.
Sekarang ini, keberadaan portal dan “polisi tidur” kadung menjadi jawaban dari menjaga keamanan dan keselamatan. Mengapa portal banyak didirikan? Karena banyak masyarakat yang merasa tidak aman. “Polisi tidur” dibuat agar kendaraan motor tidak ngebut ketika melewati kawasan pemukiman atau perumahan.
Tapi, dilain sisi, portal dan “polisi tidur” pun menggangu kepentingan umum. Membuat pengguna jalan yang berkendaraan menjadi tidak nyaman dan menghambat mobilitas masyarakat. Apalagi bila portal atau “polisi tidur” dibangun pada jalan umum.
Ketentuan pembuatan portal dan “polisi tidur” sendiri sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) No 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Aturannya terdapat dalam Bab II pasal 3 tentang tertib jalan, angkutan jalan, dan angkutan sungai. Isi aturan tersebut yakni kecuali dengan izin gubernur atau pejabat yang ditunjuk.
Bila melanggar, bisa diancam pidana minimal 20 hari penjara, paling lama 90 hari penjara atau denda minimal Rp 500 ribu dan maksimal Rp 30 juta.
Namun, aturan tersebut hanya tinggal aturan. Seusai peristiwa kerusuhan yang terjadi Mei 1998 lalu, beberapa perumahan, kawasan pemukiman, bahkan komplek ruko dan mal pun membatasi diri dengan memasang portal dan pagar besi yang cukup tinggi. Hal tersebut dilakukan dengan alasan untuk menghindari penjarahan dan phobia kerusuhan yang disertai perusakan.
Karena memang dibiarkan, masyarakat yang notabene belum mengerti aturan dan syarat pembuatan portal atau “polisi tidur” pun seenaknya membuat palang jalan dan gundukan tersebut. Akhirnya, portal dan “polisi tidur” menjadi hal yang wajib, terutama di setiap perempatan komplek perumahan.
Dalam hal ini, masyarakat tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena mereka butuh rasa aman. Berkaca pada peristiwa kerusahan lalu, masyarakat merasa tidak ada yang bisa menjamin keselamatan dan keamanan mereka. Makanya, mereka melakukan tindakan preventif yang sekiranya bisa mencegah peristiwa itu terulang lagi.
Sekarang, bila memang alasan tersebut dibilang sudah “basi” dan situasi dikatakan sudah kondusif, apa pemerintah dan aparat keamanan bisa memberi rasa aman pada masyarakat?
Rasa aman, hal inilah yang menjadi esensi dari mengapa masyarakat banyak membuat portal dan “polisi tidur” di kawasan tempa tinggalnya. Kalau memang ada jaminan dan kiat meyakinkan masyarakat dalam hal rasa aman, masyarakat pun akan rela membongkar semua itu. Buat apa mereka mengeluarkan uang untuk membikin portal, duplikat kunci, atau membayar satuan pengaman di setiap perempatan, kalau memang mereka sudah merasa aman.
Okelah, ada yang bilang, kalau begitu, kegiatan Siskamling harus digiatkan untuk memenuhi kebutuhan rasa aman. Tapi, Siskamling biasanya dilakukan pada malam hari, bagaimana mencegah maling atau perampok siang hari yang kerap menjadi modus pencurian di perumahan-perumahan?
Dengan adanya portal atau “polisi tidur”, setidaknya bisa meminimalisir lalu lalang orang yang bukan penghuni. Sekaligus mencegah pencuri atau perampok dalam mengintai, mengenal lokasi, dan mengetahui kondisi incarannya.
Bila pemerintah dan aparat keamanan tidak bisa memberi rasa aman pada masyarakat, penertiban keberaaan portal dan “polisi tidur” ini bisa banyak mendapat kecaman. Bahkan, bisa saja ada yang menolak. Belum lagi, dengan dibukanya portal, berarti akan membuat lalu lintas, khususnya di kawasan perumahan, akan semakin tinggi. Sehingga bisa membuat jalan menjadi cepat rusak. Kalau sudah begitu, siapa yang akan membetulkan jalan?
Bukannya antipati terhadap kebijakan yang ditelurkan Wagub Jakarta, Prijanto ini, tapi setidaknya Pemda Jakarta bisa membuka mata. Memang benar kita harus mendahulukan kepentingan umum, tapi rasa aman penghuni kawasan pemukiman dan perumahan adalah kebutuhan mendasar yang juga perlu diperhitungkan.