Politik (Bukan) Ilmu Pasti
Tidak berapa lama lagi, Pemilu 2009 akan dimulai. Sebanyak 44 partai politik ambil bagian dalam “pesta demokrasi” kali ini. Kemudian ada sekitar 560 kursi anggota DPR yang terbagi dalam 77 daerah pemilihan akan diperebutkan calon-calon anggota legislatif.
Belakangan, menghadapi perhelatan tersebut, baik partai politik (Parpol) maupun calon anggota legislatif (Caleg), keduanya “setali tiga uang” berlomba-lomba merebut hati rakyat. Kalau ada partai yang punya dana besar, mereka akan rajin mengiklankan diri di berbagai media massa. Begitu juga dengan Caleg, mereka tidak malu lagi foto-fotonya dipampang di jalan-jalan. Tujuannya adalah agar masyarakat kenal dan mau memilih mereka.
Selama masa kampanye, keduanya akan rajin berkunjung ke berbagai tempat, terutama di kantong-kantong suara mereka. Bukan rahasia lagi kalau dalam kunjungan tersebut, mereka pun akan menebar visi misi, sedikit memberi pesta, dan tidak lupa memberi janji-janji politis.
Dari rakyat yang berdomisili di tengah kota sampai mereka yang bermukim di ujung pulau akan mereka datangi. Mereka tidak peduli dengan kumuhnya daerah Muara Baru yang sering diterjang banjir rob, misalnya, atau panasnya sengatan matahari dan keletihan yang mereka rasakan. Mereka mengejar mesin suara.
Namun, bilakah Parpol mendapat suara dan Caleg tersebut terpilih, akankan mereka tetap berlomba mengunjungi masyarakat pemilihnya? Masihkan mereka rela bersimbah keringat dan datang ke lorong-lorong daerah kumuh sekedar mengucapkan terima kasih karena telah memilih mereka? Mereka hanya mengejar mesin suara.
Ada sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa tidak ada satu pun dari masyarakat kalangan bawah yang dikunjungi anggota dewan pusat atau daerah setelah terpilih (kompas.com). Meski penelitian yang dilakukan Kalyanamitra ini dikhususkan untuk politisi perempuan, tapi sepertinya tidak jauh berbeda dengan politisi laki-laki.
Fenomena ini sudah menjadi rahasia umum dan belum ada perbaikan dari tahun ke tahun. Jangankan mengunjungi konstituen mereka, wong pada masa sidang II pada 24 November – 19 Desember 2008 lalu saja, anggota dewan yang selalu hadir mengikuti rapat paripurna hanya 116 orang dari 550 anggota dewan (Kompas, 10/1).
Menghadiri rapat paripurna yang sudah menjadi kewajibannya dan sebagai representasi dari rakyat saja, mereka sering mangkir, apalagi harus turun ke bawah. Tapi katanya, ketidakhadiran mereka justru untuk mengunjungi konstituen di daerah-daerah. Lho, bukannya kesempatan itu bisa didapat ketika masa reses?
Kacang dan Kulitnya
Mungkin kita masih ingat dengan pameo “kacang lupa pada kulitnya” yang sering diartikan dengan orang yang lupa dengan orang lain yang berjasa terhadap kesuksesan dirinya. Kacang akan melupakan kulitnya setelah biji kacang dituai dan mempunyai nilai ekonomis. Kulit kacang akan dicampakkan dan dibuang begitu saja. Padahal karena kulitnya, kacang bisa tumbuh, terlindungi sinar matahari dan hujan.
Tidak baik adanya bila pameo tersebut terus melekat pada anggota dewan. Masyarakat yang diibaratkan dengan “kulit” sering dikecewakan oleh “kacang” yang diartikan dengan anggota dewan.
Lebih buruk lagi kalau ditambah dengan kiasan “ada udang di balik batu”. Seperti halnya ketika menjelang Pemilu seperti sekarang ini, banyak partai dan Caleg yang mengubar janji politis karena ada maunya. Terpilih menjadi anggota legislatif.
Menjadi anggota legislatif yang notabene adalah wakil rakyat, bukanlah pekerjaan mudah. Dalam kajian Islam, seorang Amirul Mukminin, Umar Ibn Abdul Aziz, malah menangis ketika menerima jabatan menjadi seorang pemimpin di tanah Arab. Dia menganggapnya sebagai ujian dan langsung teringat pada orang-orang miskin, ibu-ibu yang janda, orang yang punya anak banyak, rezekinya sedikit, dan orang-orang dalam tawanan. Umar Ibn Abdul Aziz tahu kalau kelak dia akan diminta pertanggungjawabannya.
Mengunjungi konstituante dengan tujuan mengetahui bagaimana kondisi dan apa saja permasalahan di masyarakat, juga merupakan salah satu bentuk tanggung jawab anggota legislatif kepada pemilihnya. Dengan begitu, masyarakat tidak merasa dilupakan, malah merasa mendapat media aspirasi langsung, bukan hanya melihat anggota legislatif ketika bersidang membuat peraturan.
Tidak ada salahnya bila setiap anggota legislatif, pertama, memiliki agenda tetap untuk membaur dengan masyarakat. Mengatur waktu mengunjungi masyarakat tiap kelurahan di daerah pemilihannya. Di situ, bersama dengan masyarakat, bisa memecahkan masalah yang ada dengan lebih kongkrit.
Kedua, dalam kunjungannya, membuat rencana-rencana yang realistis dalam pengembangan wilayah dan masyarakat. Tidak melulu berkutat pada hal-hal yang teoritis. Apalagi rencana-rencana yang nantinya bakal terbentur pada masalah birokrasi yang tidak efektif.
Ketiga, meski sudah dialokasikan, anggota legislatif mau membantu secara langsung bila di daerah pemilihannya, terjadi bencana alam, banyak masyarakat miskin, terserang wabah penyakit, banyak anak yang tidak mampu bersekolah, misalnya. Dengan begitu, anggota legislatif tidak akan dianggap melupakan konstituennya.
Namun, seperti yang dikatakan Otto von Bismarck (1815–1898), “Politics is not an exact science” (Politik bukanlah ilmu pasti). Artinya, apa yang terjadi sekarang, apa yang dijanjikan, apa yang direncanakan, bisa saja berubah karena politik bukanlah ilmu pasti. Berharaplah agar politisi kita akan berubah ke arah yang lebih baik, tidak melupakan masyarakatnya, tidak berkhianat dan amanah, tidak menggerogoti uang negara, dan tidak berkolusi jahat.