Tampilkan postingan dengan label Khas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Khas. Tampilkan semua postingan

Green Belt Dengan Sejuta Pohon Bakau

Pemprov DKI Jakarta kini memiliki taman wisata alam di daerah konservasi mangrove. Taman seluas 99,82 hektar yang terletak di kawasan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara ini, akan menjadi paru-paru kota bagi warga Jakarta.

Panas terik siang menerpa Pantai Indah Kapuk (PIK). Suhu panas saat itu kira-kira 350C. Gerah dan keringat membasahi sekujur tubuh para awak AdInfo yang berniat menyambangi Taman Wisata Alam Angke Kapuk (TWA) tersebut.

Tak lama berselang saat berada di pintu masuk TWA, udara berasa sejuk karena semilir hembusan angin yang melewati sela-sela rerimbunan pohon bakau (mangrove). Sebagai catatan, hingga kini baru ada dua taman wisata yang dipenuhi pohon mangrove, yakni di Jakarta dan Bali. Ke depannya, diharapkan daerah lain akan mengikuti langkah Jakarta dan Bali.

Taman Wisata Alam sendiri dibangun dalam 12 tahun terakhir dan berada dalam pengawasan Pemprov DKI Jakarta. TWA sendiri merupakan bagian dari wilayah pesisir pantai Jakarta Utara yang telah dilabeli sebagai green belt, termasuk Kawasan Taman Wisata Kapuk Angke.

Taman ini diharapkan bisa menjadi andalan dari 12 destinasi wisata pesisir yang sekarang sedang giat-giatnya dipromosikan. TWA memang diplot sebagai lokasi konservasi hutan bakau sekaligus sebagai tempat wisata alam dan terbuka untuk umum.

Diresmikan Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan pada 25 Januari 2010 lalu, TWA memiliki area seluas 99,82 hektar dan akan menjadi paru-paru kota bagi warga Jakarta.


Dengan memiliki jutaan tanaman mangrove, nantinya daerah ini berfungsi menghalau air laut pasang atau rob, termasuk abrasi laut. Di sini juga terdapat tempat pelestarian flora dan fauna sekaligus sebagai tempat sarana pendidikan masyarakat.
Menurut Menhut, dalam pengelolaannya, konservasi flora dan fauna itu akan melibatkan rakyat seluas-seluasnya. Rakyat akan diberikan pendidikan akan arti penting konservasi hutan mangrove.
Senada dengan Menhut, Wali Kota Jakarta Utara, Bambang Sugiyono mengatakan, wilayah Jakarta Utara telah dijadikan wilayah green belt, termasuk Kawasan Wisata Alam PIK dan menjadi bagian dari jalur dan tujuan wisata di Jakarta Utara.

Paru-paru Jakarta
Selain sebagai daerah konservasi pertama di ibu kota, TWA ini juga merupakan satu-satunya yang berada di ibu kota negara. Taman ini, selain menjadi paru-paru Jakarta, juga sebagai tempat pelestarian flora dan fauna dan sarana pendidikan masyarakat.

“Kami harus mengikutsertakan rakyat seluas-luasnya dan memberikan pendidikan kepada mereka. Tujuannya, agar mereka sadar pentingnya konservasi alam seperti yang tengah dilakukan Taman Wisata Alam Angke Kapuk,” tegas Bambang.

Menilik dari sejarahnya, pada tahun 2007, kawasan ini menyimpan 79 - 100 juta pohon produktif. Namun, karena telah terjadi abrasi, maka sepanjang tahun 2009 dilakukan penanaman pohon mangrove secara kontinyu. Sehingga pada tahun 2009, tercatat ada 203 juta bibit pohon bakau yang ditanam di kawasan tersebut.

Dulunya, banyak sekali penambak liar di sini. Perlahan tapi pasti, berbagai pihak terkait berusaha mengembalikan fungsi lahan ini sebagai tempat konservasi hutan mangrove, juga aneka binatang yang ada seperti biawak dan udang.

Tidaklah susah menuju lokasi TWA, ada beberapa akses jalan untuk menuju ke sana. Bisa melalui Tol Kapuk atau Jalan Mandara Permai (depan Rukan Cordoba). Posisi tepatnya berada dekat Yayasan Tsu Zhi atau belakang Rukan Gold Coast, Bukit Golf Mediteranian (depan Fresh Market).

Berjalan menyusuri rerimbunan hutan bakau di atas trek jalan yang terbuat dari kayu, seperti mendapatkan sensasi tersendiri. Suasana di sini tenang dan damai, tidak seperti suasana hiruk pikuk kota Jakarta yang menjemukan. Di taman ini, juga terdapat fasilitas pengamatan burung, pondok alam sebanyak 8 buah, dan rumah kemping sebanyak 30 unit.

Pengunjung TWA akan dikenakan sanksi apabila diketahui memancing ikan. Sanksi itu berupa hukuman 10 tahun penjara atau denda 5 miliar rupiah.

Warga ibu kota diharapkan agar turut menjaga kelestarian Taman Wisata Alam Kapuk Angke ini. Warga juga diminta untuk turut menanam pohon di area tersebut sehingga isu pemanasan global dapat teratasi bersama.

Diharapkan di tahun-tahun mendatang, kawasan tersebut akan dapat memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warga sekitar. Setidaknya jika taman ini berkembang, secara ekonomi akan menguntungkan warga sekitar. Sebab warga bisa berjualan souvenir sehingga denyut perekonomian warga akan berdetak keras.

Read More ..

Kawasan Rekreasi untuk Anjing

Bagi yang punya hewan peliharaan, terutama anjing wajib untuk sesekali memanjakan hewan kesayangannya itu. Lebih dari sekedar berjalan-jalan, datang ke tempat rekreasi anjing bisa jadi pilihan yang paling tepat.

Maggy, anjing betina jenis Rottweiler yang berusia 4 tahun itu tampak senang ketika ditemani oleh seorang pemandunya untuk berkeliling di sebuah tanah lapang, yang di atasnya terdapat beberapa instrumen ketangkasan.

Sambil berlari agak kencang, Maggy menaiki sebuah jembatan kayu yang lebarnya sekitar 20 cm. Selesai melewati jembatan kayu, Maggy langsung meluncur ke sebuah terowongan kecil. Dengan sigapnya, ia melewati terowongan tersebut.

Aksi Maggy melewati beberapa arena ketangkasan itu dapat ditemui di Rumah Terraria. Sebuah lokasi yang menyuguhkan hiburan atau wisata untuk anjing. Rumah Terraria ini berlokasi di Jl. Platina II, Desa Curug, Kecamatan Gunung Sindur, Parung, Bogor.

Melihat tulisan lokasinya, mungkin terkesan jauh. Padahal, dari kawasan BSD Serpong, Rumah Terraria ini bisa dicapai dalam waktu 30 menit dengan kendaraan roda empat. Dari arah BSD, lurus saja ke perempatan Viktor.

Rumah Terraria, sebuah kawasan hunian yang asri, nyaman dan menyenangkan untuk anjing kesayangan Anda. Rumah Terraria hadir dengan konsep One Stop Dog’s Entertainment.

Di dalamnya terdapat fasilitas atau jasa penitipan, pelatihan, perawatan, rekreasi dan pembiakan anjing yang berorientasi kepada kenyamanan fisik dan psikis dari anjing yang dititipkan, sehingga anjing dapat melakukan aktifitas dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya senyaman dan senatural mungkin.

Dijelaskan oleh Pengelola Rumah Terraria, Yudiyanto Tasma atau yang akrab disapa Yudi, Rumah Terraria hadir di kawasan lingkungan dengan udara yang bersih, jauh dari pusat kegiatan atau perkotaan.

“Di sini masih banyak pohon rindang, masih banyak terdengar burung berkicau dari dahan-dahan pohon tersebut, membuat suasana semakin terasa bersahabat yang dapat membuat anjing betah dan gembira melakukan apa yang diinginkannya,” kata Yudi.

Untuk arena bermain anjing, selain memiliki lapangan dengan arena ketangkasan, Rumah Terraria juga menyediakan kolam renang untuk anjing. Anjing-anjing yang datang untuk berwisata ke tempat ini, dijamin akan tersenyum gembira.

“Selain arena ketangkasan, kami juga menyediakan jasa penitipan, grooming, peternakan, pelatihan, dan klinik hewan,” tegas Yudi menambahkan.

Taman rekreasi dan arena ketangkasan Rumah Terraria diperuntukan bagi segala jenis anjing. Biasanya, Rumah Terraria ramai dikunjungi pada akhir pekan.

Read More ..

Rumah-rumah Pembuat Tempe

Keberadaan komunitas pembuat tempe merupakan potret langka sebuah kehidupan yang jarang kita temukan di Jakarta. Kesederhanaan mereka, tak tergerus jaman.

Panas terik siang itu di “perumahan tempe” sebutan lain Komplek Kopti (Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia), berlokasi di Kelurahan Semanan, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat. Suasana lingkungannya tenang, damai, dan jarang lalu lalang kendaraan.

Wajar saja, karena 95 persen warganya disibukan dengan aktivitas membuat tempe sepanjang hari. Aktivitas membuat tempe sudah berlangsung lebih kurang 15 tahun dan sudah menjadi sumber nafkah ratusan warga “perumahan tempe”.
Rasmani (42), salah seorang pengusaha tempe asal Pekalongan mengatakan, pembuatan tempe di sini berskala rumahan dan ada sekitar 765 rumah dijadikan lokasi pembuatan tempe.


Mengenai jumlah produksi tempe dalam sehari bervariasi, tergantung banyaknya kedelai yang dipakai. Pastinya, 1 kwintal kedelai biasanya menghasilkan 30 cetak tempe dengan panjang 2,5 meter dan lebar 25 cm. Tempe hasil produksi setiap hari kami jual lansung ke perorangan, pengepul, dan pasar tradisional.

“Menyoal suplai kedelai, selama ini tidak ada kendala. Stoknya selalu tersedia. Saat ini, kami pakai kedelai impor asal China, Kanada, dan Amerika karena kedelai lokal tidak terjamin mutunya dan menjadikan tempe tidak enak.

Perlu Dukungan
Dulu, tempe identik sebagai penganan “ndeso” atau identik dengan makanan rakyat kelas bawah. Namun sekarang berbeda, kini tempe menjadi “raja” di negeri seberang. Karena sarat nilai kandungan gizi, menjadikan tempe sebagai makanan primadona di sana. Tidak hanya Jepang yang mengakui itu, negara-negara maju lainnya pun mengakuinya.

Untuk memperoleh bahan baku kedelai impor tidaklah sulit, di sini saja ada 3 - 4 toko penjual kedelai. Harganya pun stabil yaitu, Rp 485 - 500 ribu per kwintalnya. Harga kedelai pernah tidak stabil sekitar 2 - 3 tahun lalu, angkanya pernah mencapai Rp 750 - 800 ribu/kwintal.

Perhatian dari pihak-pihak terkait seperti koperasi sebagai pengayom kami selama ini, tidak banyak membantu. Akhirnya, kami bergerak sendiri. Padahal, apabila kami sebagai pengusaha tempe dan pengurus koperasi saling membantu, akan membawa banyak keuntungan ekonomis.

Tempo hari saja, ada pengusaha Jepang tertarik impor tempe produksi kami, namun tawaran bagus itu “menguap” tanpa kejelasan. Belum lagi, kerjasama lainnya yang tidak ditindak lanjuti oleh pengurus koperasi.

Wisata Ilmiah
Sebanyak 95 persen warga komplek Kopti adalah pembuat tempe. Kekhasan komunitas ini merupakan daya tarik tersendiri untuk diekspos ke masyarakat luas. Tentu untuk menyukseskan gagasan ini perlu penggarapan serius dan melibatkan pihak-pihak terkait.

Penggarapan serius bisa saja dimulai dengan penataan dan pendataan tiap-tiap rumah yang menjadi tempat pembuatan tempe. Sebagai ide, di sini nanti pengunjung bisa menyaksikan proses pembuatan tempe dari awal hingga akhir. Proses pembuatan tempe dari awal hingga akhir adalah daya tarik dan bisa di ekspos, tentu menjadi nilai tambah ekonomis bagi warga Kopti.

Bahkan, bila perlu dibangun warung khusus menyajikan tempe mentah dan jadi—agar pengunjung bisa langsung menikmati tempe hasil produksi di tempat. Tempe jadi pun bisa diolah ke macam varian tempe olahan dan bisa dijadikan sebagai buah tangan pengunjung sehabis mengunjungi sentra pembuatan tempe.

Sasaran pengunjung yang dibidik untuk wisata ilmiah ini sudah pasti pelajar, mahasiswa, para peneliti dan masyarakat luas (turis lokal dan mancanegara). Bahkan, bukan tidak mungkin nantinya wilayah ini bisa menjadi tujuan wisata ilmiah unggulan DKI Jakarta.

“Sebagai indikasi ketertarikan seseorang akan proses pembuatan tempe, beberapa pengusaha dari Jepang dan Australia pernah berkunjung ke sini. Melihat-lihat cara pembuatan tempe dan mereka berminat ingin membeli tempe kami,” kenang bapak dengan satu cucu ini.

Sekali waktu, pernah secara sporadis perseorangan datang melihat-lihat cara pembuatan tempe. Potensi kunjungan seperti itu akan meningkat jumlahnya apabila digarap serius. Bukan tidak mungkin, nama Komplek Kopti “perumahan tempe”, bisa sebagai pusat penelitian ilmiah tempe berkelas dunia,” tutup Rasmani.

Read More ..

Mengais Kali Baru, Bersihkan Sampah Plastik

Bagi para pemulung di atas Kali Baru, Kapuk, Cengkareng, keberadaan sampah botol plastik, gelas, dan kayu adalah sumber penghidupan. Setali dua uang, keberadaan mereka secara tidak langsung juga menjaga kebersihan kali karena mengurangi volume sampah.

Melewati jalan di tepian Kali Baru, ada pemandangan yang tak lazim seperti di kali-kali lain di Jakarta. Beberapa perahu berukuran kecil dengan seorang pemulung di atasnya sedang mengais lalu memulung sampah plastik dengan cara diserok. Sampah plastik dimaksud tentunya yang bisa dijual, seperti bekas gelas dan botol plastik air mineral ukuran sedang dan 1 liter.

Setelah seharian memulung dan muatan sampah botol plastik di perahu terasa cukup, pemulung-pemulung tersebut biasanya langsung bergegas menuju lapak untuk menjualnya. Bagi mereka, sampah-sampah tersebut membawa rezeki—sebagai sumber penghidupan sehari-hari.

Kalau lagi beruntung, sampah plastik yang didapat bisa mencapai 10 kilo dan sedikitnya hanya ½ - 2 kilo. Di lapak-lapak penampungan, 1 kilo sampah plastik tersebut dihargai Rp 2 ribu.

Para pemulung di kali tersebut terhitung cukup banyak. Dari remaja sampai orang tua yang sudah memiliki keluarga. “Alhamdulillah, dari hasil memulung, saya bisa menghidupi isteri dan keempat anak saya,” kata Aan (55) yang memulung di kali Baru sejak 1997 silam.

Panen di Musim Penghujan
Bila sudah menjadi profesi, apa pun risikonya, pasti akan ditempuh. Sama halnya dengan para pemulung di kali ini, mereka tak peduli dengan teriknya sinar matahari dan bau tak sedap yang menyegat. Belum lagi air kali yang terlihat tidak lagi bening, melainkan berwarna hitam pekat dan berlumpur.

Dalam mencari rejeki, ternyata mereka pun memiliki pasang-surut. Ada kalanya sampah plastik berlimpah di kali, tapi ada pula saatnya kali bersih dari sampah plastik. Pada musim kemarau, biasanya sampah botol plastik akan sulit didapat. “Kalau sampah sedang sedikit, biasanya kami akan berperahu mengarah ke hulu. Pokoknya, cari ke mana saja, siapa tahu ada sampah yang terjebak di pinggir-pinggir kali,” terangnya.

Sebaliknya, pada musim penghujan, akan banyak sampah botol plastik yang terbawa arus air dari hulu menuju hilir. Menurut Aan, musim penghujan membawa berkah tersendiri buat kami. Musim itu adalah saatnya panen sampah botol plastik.

“Sepengetahuan saya, teman-teman yang berprofesi sebagai pemulung di kali baru mencapai 50-an orang. Jumlah itu baru yang saya tahu, mungkin jumlahnya bisa lebih. Para pemulung bisa dilihat dari mulai jembatan Daan Mogot hingga ke arah hilir Kali Baru, Kapuk, Cengkareng,” terang Aan.

Seperti disebutkan di atas, keberadaan para pemulung ini tidak bisa dipungkiri juga ikut mengurangi volume sampah kali. Bayangkan, minimal ½ - 2 kilo sampah plastik diangkat dari kali tersebut. Bila dikali 50 orang, sudah berapa banyak sampah yang mereka angkut? Secara tidak langsung, mereka juga ikut menjaga kebersihan kali dari sampah, khususnya sampah botol plastik.

Sama seperti Aan, Sardono (60) yang mulai berprofesi sebagai pemulung sampah botol plastik sejak tahun 1997, menganggap sampah botol plastik seperti “seonggok uang”. Makanya, tidak hanya di kali Baru, di mana ada sampah, ia pun akan ke sana untuk memulungnya. “Sampah sudah saya anggap uang,” katanya.

Perahu sebagai sarana trasportasi utama bagi pemulung di atas air rata-rata adalah kepunyaan sendiri. Kondisi perahu bocor karena termakan usia kerap mereka alami.
“Kalau bocor, kami perbaiki sendiri. Menambalnya dengan serat fiber yang bisa awet hingga satu tahunan. Kalau diperbaiki orang lain, biayanya bisa menghabiskan dana sebesar Rp 200 ribu. Tapi, biaya segitu masih wajar, dari pada bikin perahu baru yang harganya sekitar satu jutaan,” ucap Sardono.

Melihat kesederhanaan para pemulung sampah ini, sering terpikirkan bagaimana mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari? Sedangkan biaya hidup dan harga-harga kebutuhan pokok sudah melambung tinggi. Belum lagi kebutuhan pendidikan dan lainnya. Apa mereka masih bisa mencukupinya?

“Kami tidak berharap muluk-muluk, kondisi perahu layak jalan dan bisa memulung banyak sampah plastik saja itu sudah cukup. Dan kami bersyukur bisa menghidupi isteri dan anak-anak kami dari hasil pekerjaan halal ini,” tutupnya.

Read More ..

Situ Tangerang yang Tersingkirkan

Membangun sebuah peradaban, jelas butuh pengorbanan. Tak terkecuali di bidang pembangunan fisik perkotaan. Kawasan yang dulunya berstatus daerah alam seperti situ atau danau, harus tersingkir digantikan dengan beton dan baja.

Jumlah situ di Kota Tangerang mengalami penurunan. Seperti dikutip dari situs resmi Pemkot Tangerang, hal ini akibat perkembangan guna lahan terbangun. Jumlah situ di Kota Tangerang saat ini hanya tinggal 6 (enam) buah lagi, itu pun dalam kondisi yang memprihatinkan. Jika tidak ada tindakan konservasi terhadap situ-situ yang tersisa tersebut, dapat dipastikan jumlah situ yang ada akan terus berkurang dan bukan suatu hal yang tidak mungkin keberadaan situ hanya ada dalam sejarah.

Situ adalah suatu wadah genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk secara alami rnaupun buatan, dengan sumber air yang berasal dari air tanah dan atau air permukaan. Situ merupakan salah satu bentuk kawasan lindung setempat (non-hutan). Situ memiliki berbagai fungsi penting, antara lain sebagai tempat parkir air dan kawasan resapan air, sehingga dapat mengurangi volume air permukaan (run off) yang tidak tertampung (penyebab banjir).

Di samping itu, situ dapat dimanfaatkan sebagai irigasi, pengimbuh (recharge) air pada cekungan air tanah, cadangan air bersih, perikanan darat, sarana rekreasi, memperindah wajah kota maupun wisata alam.

Situ yang saat ini telah hanya menjadi sejarah adalah Situ Kompeni di Kecamatan Benda, Situ Plawad di Kecamatan Cipondoh dan Situ Kambing di Kecamatan Karang Tengah. Dari situ yang telah hilang ini, Situ Kompeni merupakan situ dengan area terluas mencapai 70 Hektar.

Sementara itu, situ yang masih dapat kita nikmati keberadaannya sampai dengan saat ini adalah Situ Cipondoh di Kecamatan Cipondoh, Situ Gede di Kecamatan Tangerang, Situ Cangkring di Kecamatan Priuk, Situ Bulakan di Kecamatan Priuk, Situ Kunciran di Kecamatan Pinang dan Situ Bojong di Kecamatan Pinang.

Situ Cipondoh merupakan situ dengan area terluas yang mencapai 142 Ha. Namun demikian, akibat proses alami atau proses non alami, luas areal situ ini semakin berkurang dan hingga saat ini hanya seluas 126,17 Ha. Kedalaman situ-situ ini berkisar antara 2,5 m sampai 3 m.

Melihat dalam perpektif yang lebih luas, situ tak cuma berfungsi sebagai daerah penyimpan atau penampung air. Jika dikelola dengan baik, secara ekonomi, sebuah situ memiliki manfaat komersil. Contohnya saja untuk kepariwisataan. Situ Cipondoh misalnya, situ ini sejak beberapa waktu terakhir mulai dikelola sebagai tempat wisata umum. Tak hanya menguntungkan untuk pemerintah, tapi juga bagi warga sekitar situ.

Bagi masyarakat kebanyakan, berwisata ke sebuah situ, asal situ itu bersih dan aman, tentu sudah cukup dan tidak perlu keluar banyak biaya. Meski sekedar duduk santai menikmati keindahan situ, itu sudah lebih dari cukup.

Masyarakat Tangerang tentu merasa bangga dengan memiliki banyak situ. Tapi, kembali lagi, kadang pengelolaan dan perawatannya diabaikan. Alhasil, sebuah situ hanya menjadi lokalisasi kumpulan air yang minim manfaat. Menyedihkan bukan.

Butuh kerja sama memang untuk meningkatkan ‘citra’ situ-situ yang ada di Tangerang. Pemerintah kota tak bisa bekerja sendiri, butuh juga partisipasi dari masyarakat. Dengan melestarikan situ, itu berarti kita juga turut merawat Kota Tangerang tercinta.

Read More ..

Hutan Mangrove Tol Sedyatmo

Ekowisata Alam Penyangga Lingkungan

Dari sekian banyak tempat hiburan, Jakarta sudah penuh denga mal, klub malam dan arena bermain keluarga seperti Taman Impian Jaya Ancol, Dunia Fantasi dan Taman Mini Indonesia Indah. Namun, Jakarta tetap memiliki wisata alam yang indah seperti Hutan Kota Srengseng di Jakarta Barat dan Hutan Mangrove Tol Sedyatmo di Jakarta Utara.

Kini, realisasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjaga kelestarian lingkungan hidup ini terus digalakkan. Seperti yang terlihat di kawasan Hutan Mangrove Tol Sedyatmo. Hampir setiap tahunnya, Pemprov DKI lewat Dinas Pertanian dan Kehutanan menanam bibit mangrove.

Perhatian Dinas Pertanian dan Kehutanan ini tidak berjalan sendiri. Namun turut juga menggandeng pihak BUMN, swasta, instansi, LSM dan elemen masyarakat lainnya. Seperti dalam pantauan Adinfo di tempat, nampak instansi yang berpartisipasi dalam penanaman mangrove namanya terpampang di dahan bakau.

Menurut Kepala Seksi Pengelolaan Hutan Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta Ir. Sukardi, Hutan Mangrove ini diproyeksikan sebagai ekowisata alam bagi publik. Sebelumnya, ekowisata alam sudah dulu ada seperti di Taman Wisata Alam Kamal Muara, Hutan Lindung Angke Kapuk, dan Suaka Margasatwa di Pantai Indah Kapuk.

Untuk menciptakan sarana publik yang edukatif bagi publik, Dinas Pertanian dan Kelautan mencanangkan Hutan Mangrove Tol Sedyatmo sebagai Mangrove Education Center. Realisasi ke arah itu sudah terlihat pembenahan infrastruktur seperti, jalan conblok yang membelah hutan, pos informasi dan edukasi, juga jalan kayu yang sudah dimulai sejak dua periode lalu.

Kawasan hutan mangrove, lanjutnya, yang tersisa di daerah Jakarta ini semuanya diperuntukkan untuk konservasi. Karenanya, pelestarian lingkungan dengan mengundang semua elemen masyarakat tidak pernah sepi. Tahun lalu saja Pemprov DKI Jakarta mencanangkan penanaman 3,2 juta pohon di sepanjang kawasan barat pantai utara Jakarta.

“Saat ini, kami sedang menggalakkan kerjasama dengan LSM Gajah Sumatera soal hutan mangrove. Sampai sekarang, bentuk kerjasamanya akan digodok. Tapi, kurang lebih kedua belah pihak akan saling mengisi. Kehadiran LSM Gajah Sumatera ini nantinya akan memberikan edukasi kepada pengunjung yang datang,” katanya.

Ironisnya, di tengah program pemerintah yang membuka kembali lahan konservasi mangrove, masih banyak orang yang tidak bertanggung jawab menempati lahan seluas 95,5 hektare ini tanpa ijin. Meski terpampang larangan untuk menempati lahan tanpa izin, mereka tetap beraktivitas membuka tambak komersil untuk kepentingan pribadi.

Contoh nyata itu terjadi di dalam kawasan hutan mangrove sendiri, tempat yang nantinya menjadi Pusat Pendidikan Mangrove. Mereka tidak segan membuka lahan tambak dan warung bagi para pendatang yang kebanyakan menghabiskan waktunya untuk memancing.
Seperti yang dituturkan Sugiarto, pegawai honorer Hutan Mangrove ini kepada Adinfo.
Hampir kebanyakan mereka yang masuk ke sini semuanya hanya untuk memancing. Mereka yang bermaksud kemari jarang untuk wisata alam. Kalaupun mampir, mereka hanya untuk pemotretan pre wedding.

Sangat disayangkan jika program Pemprov dalam pemulihan kawasan mangrove sebagai ekowisata alam ini dirusak oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Apalagi, hutan mangrove sangat berarti sebagai penyangga lingkungan hidup bagi ekosistem satwa liar. Mari lindungi mangrove kita!


Read More ..

Stasiun Rawa Buntu

Yang Setia Menunggu Kereta

Kereta api (KA) merupakan moda transportasi massal. Sarana transporstasi yang satu ini bisa mengangkut ratusan orang dalam sekali jalan. Di komunitas kita, ada dua stasiun yang menjadi pemberhentian kereta api, yakni Stasiun KA Serpong dan Rawa Buntu.

Stasiun kereta api adalah tempat di mana para penumpang dapat naik-turun dalam memakai sarana transportasi kereta api. Selain stasiun, pada masa lalu dikenal juga dengan halte kereta api yang memiliki fungsi nyaris sama dengan stasiun kereta api.

Stasiun kereta api umumnya terdiri atas tempat penjualan tiket, peron atau ruang tunggu, ruang kepala stasiun, dan ruang PPKA (Pengatur Perjalanan Kereta Api) beserta peralatannya, seperti sinyal, wesel (alat pemindah jalur), telepon, telegraf, dan lain sebagainya.

Stasiun besar biasanya diberi perlengkapan yang lebih banyak daripada stasiun kecil untuk menunjang kenyamanan penumpang maupun calon penumpang kereta api, seperti ruang tunggu, restoran, toilet, mushalla, area parkir, sarana keamanan (polisi khusus kereta api), sarana komunikasi, depo lokomotif, dan sarana pengisian bahan bakar.

Pada umumnya, stasiun kecil memiliki tiga jalur rel kereta api yang menyatu pada ujung-ujungnya. Penyatuan jalur-jalur tersebut diatur dengan alat pemindah jalur yang dikendalikan dari ruang PPKA. Selain sebagai tempat pemberhentian kereta api, stasiun juga berfungsi bila terjadi persimpangan antar kereta api sementara jalur lainnya digunakan untuk keperluan cadangan dan langsir. Pada stasiun besar, umumnya memiliki lebih dari 4 jalur yang juga berguna untuk keperluan langsir.

Bagi warga komunitas kita yang akrab dengan kereta api, tentu tak akan asing jika mendengar nama Stasiun KA Rawa Buntu. Stasiun ini dekat dengan kawasan BSD. Secara geografis Stasiun KA Rawa Buntu berada di wilayah pemerintahan Kecamatan Serpong, dan terletak di antara Stasiun Sudimara dan Serpong.

Beberapa tahun lalu, Stasiun KA Rawa Buntu tampil mengenaskan. Bangunan seadanya. Calon penumpang yang menunggu kereta api akan merasa panas ketika matahari terik menyinari, dan akan basah manakala hujan turun.

Satu tahun terakhi, pembenahan sudah nampak di Stasiun KA Rawa Buntu. Penampilan fisiknya jauh lebih baik. Bangunan stasiun tampak baru. Selain itu, sekitar stasiun ada areal parkir kendaraan, yang lebih tertib lokasi dan pengelolaannya.

“Stasiun KA Rawa Buntu sekarang jauh lebih baik dan lebih rapi. Kalau seperti ini, pengguna kereta api tentu akan semakin nyaman,” kata Firman, salah seorang calon penumpang kereta api.

Bagi warga sekitar BSD, Melati Mas, Alam Sutera, atau Gading Serpong, akan lebih baik naik kereta dari Stasiun KA Rawa Buntu ini. Pasalnya, bicara soal jarak, Stasiun KA Rawa Buntu lebih dekat dari keempat daerah tadi, ketimbang Stasiun KA Serpong, yang lokasinya berada di dekat Pasar Serpong.

Dari segi bangunan maupun luas stasiun, Staisun KA Rawa Buntu memang kalah dengan Stasiun KA Serpong, pun begitu, kereta api yang menuju Jakarta juga tetap akan melalui stasiun ini.

“Saya lebih suka naik kereta dari stasiun ini, soalnya lebih dekat dari rumah,” kata Andi, seorang mahasiswa yang setiap hari naik kereta untuk pergi ke kampusnya.

Bicara soal fasilitas, seperti tempat umum yang lain, Stasiun KA Rawa Buntu juga punya kamar mandi umum, kantin, tempat ibadah, dan area parkir. Khusus mengenai tempat jajan,di stasiun ini juga tersedia banyak ragam makanan, mau yang berat atau ringan, semuanya ada.


Read More ..

Menunggu Panas, Mengais Rezeki

Panas matahari siang itu tidak sampai menusuk ubun-ubun kepala. Teriknya sedikit bersahabat bagi kebanyakan warga ibukota. Tapi, tidak bagi mereka para pengasin ikan di Muara Angke. Hanya dengan terik yang menyengat, rezeki mereka tersurat.

Bagi para pengasin, “berjemur” membalik ikan agar cepat kering adalah hal biasa. Tak kecuali bagi penarik gerobak yang membawa ikan dari pelelangan menuju tempat penjemuran ikan. Terik yang membuncah, bagi mereka, seakan sudah menjadi anugerah. Tak peduli walau badan harus menghitam.

Faktor cuaca yang panas, oleh kebanyakan pengasin ikan Muara Angke, adalah rahmat. Mafhum saja mengingat mereka masih mengandalkan sinar matahari sebagai media alami mengeringkan ikan. Cara tradisional seperti ini hampir menjadi jurus pamungkas para pengasin ikan.

“Kalau panas sekali, waktu dua hari cukup untuk menjemur ikan. Tapi kalau cuaca mendung, apalagi hujan, perlu waktu berhari-hari agar kering. Kalau sudah begini, tidak ada cara lain kecuali menunggu terang,” kata H. Syarifuddin salah seorang pedagang ikan asin yang menjadi salah satu sesepuh di situ.

Cara tradisional mengeringkan ikan seperti ini pernah dicarikan jalan keluarnya oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI. Lewat pengurus Pengelola Hasil Perikanan Tradisional (PHPT), beberapa ahli diundang memberikan penyuluhan pada nelayan dan pengasin tentang cara mengolah ikan yang baik. Misalnya, jurus mengeringkan ikan lewat teknologi oven.

Namun, rumusan penyuluh di atas kertas jauh dari realitas di lapangan. Cara ini pernah diujicobakan pada mereka, tapi tidak bertahan lama. Yang ada, oven yang semula digunakan sebagai pengering ikan, sekarang teronggok begitu saja tidak terpakai.

Alasannya, secara kuantitatif, mengeringkan dengan oven hanya cukup menampung 1 - 2 kuintal ikan saja. Lain halnya jika ikan dikeringkan di atas penjemuran yang bisa mencapai puluhan ton. Lagipula, ketika musim ikan tiba, tidak semua orang bisa menggunakan oven pengeringan.

Dari segi rasa, ikan asin yang dijemur di bawah sinar matahari lebih gurih dan nikmat. Jauh dibandingkan ikan yang dikeringkan dengan oven. “Ikan yang dioven tidak ada rasanya. Hanya menang kering,” kata H. Syarifuddin sesekali mengisap rokok kreteknya dalam-dalam.

Lokasi pengolahan ikan asin Muara Angke yang berdiri tahun 1984, sejak awal diperuntukan untuk memfasilitasi para pengolah ikan agar produksinya bisa terkontrol kebersihannya. Berbagai jenis ikan asin, pindang, dan asap dihasilkan di sini. Beberapa toko banyak yang menjual ikan asin dalam partai besar maupun eceran. Di atas lahan seluas 4,5 hektar ini, para pedagang dan pengasin mencari banda untuk diri dan sanak saudara.

Para nelayan dan pengasin ikan di Muara Angke hidup di atas tanah pemerintah. Mereka harus mengeluarkan biaya sewa lahan sebagai tempat menjemur ikan. Antara tahun 1984 - 1999, para pengolah membayar sewa Rp 26.000/bulan. Namun, sejak tahun 2000 sampai sekarang sewanya dinaikkan menjadi Rp 50.000/bulan. Luas tiap unit 5 x 6 meter persegi.

Sebelum mendarat di Muara Angke, para nelayan dan pedagang ikan ini tinggal di Kali Baru, Cilincing, Jakarta Utara. Namun, pada 1990, mereka dipaksa angkat kaki karena di atas lahan yang mereka tinggali sekarang dibangun mega proyek pemerintah, Kawasan Briket Nusantara Marunda. Sebagian yang tidak tergusur tetap bertahan. Sedangkan yang tersisih harus pindah ke Muara Angke.

Usaha Turunan
Potensi ikan Muara Angke sungguh luar biasa. Menurut penuturan H. Syarifuddin, untuk pengasinan ikan, Muara Angke adalah tempatnya. Karena itu, Muara Angke menjadi terminal terakhir nelayan menjual hasil lautnya. Tak heran para nelayan Cilincing dan Marunda datang ke sini menjual hasil tangkapannya.

Produksi ikan asin Muara Angke antara 30-40 ton per hari. Terdiri atas berbagai jenis ikan, antara lain jambal, teri, cunang, cumi, pari dan tembang. Jumlah ini bisa bertambah ketika musim panen ikan yang jatuh Mei - Agustus. Tapi, memasuki 3 bulan di akhir tahun, jumlah ikan akan turun drastis. Selama tiga bulan ini, nyaris aktifitas menjemur ikan berhenti. Kalaupun ada, paling banyak 1 - 2 ton saja.

Harga ikan asin di sini tergantung dari jenis ikan dan musimnya. Musim seperti ini, harga per kilo ikan tenggiri sekitar Rp 45 ribu, jambal Rp 27 ribu, cumi Rp 30-35 ribu, tembang Rp 3 ribu dan ikan beesan (biasanya dipakai membuat pelet) Rp 1.500.
Para nelayan ini bergabung dalam Koperasi Mina Jaya yang tidak menangani pemasaran dan produksi, melainkan hanya menyediakan fasilitas pengolahan secara kredit seperti, garam atau uang untuk membeli bahan baku dari nelayan.

Namun, posisi koperasi ini sekarang tidak sentral seperti dulu. Tidak semua pedagang ikan menggunakan jasa koperasi. Pasalnya, sekalipun tanpa meminjam kredit dari koperasi, para pedagang bisa meminjam cukup dengan menghutang dari pedagang lainnya. Model kedekatan dan kepercayaan satu sama lain adalah salah satu cara mendapat pinjaman yang berjalan selama ini.

Ada belasan pedagang ikan asin ada di sini. Kebanyakan datang dari daerah pantai utara Jawa. Tidak semuanya pedagang besar, banyak juga yang kecil. Pedagang seperti H. Syarifuddin, misalnya, hanya menjual ikan untuk pembeli lokal. Ada juga pedagang yang menjual ikannya sampai ke Lampung. Biasanya diangkut 2 - 3 truk sekali kirim.

Tapi, pedagang seperti H. Syarifuddin mampu membesarkan keenam anaknya. Beberapa lulus di perguruan tinggi dan berdagang, bahkan ada yang menjadi polisi. Dengan kondisinya sekarang ini, dirinya masih mampu menggaji 5 karyawannya masing-masing Rp 1 juta. Gaji yang mereka terima sudah bersih, di luar makan dan rokok.

Kadang-kadang, kalau penjualan lagi bagus, para pengasin diberi uang jajan. Besaran gaji, biasanya naik sesuai musim ikan. Meski hanya sebagai pekerja pengasin, mereka selalu mendapat tunjangan hari raya dari majikannya, para pedagang.

“Membedakan pedagang besar dengan kecil patokannya cukup mudah. Kalau ikannya dikirim sampai ke Lampung itu besar. Karena ikan yang dikirim bisa terangkut oleh dua sampai tiga truk sekali jalan,” ujar H. Syarifuddin.

Selain Lampung, pasokan ikan Muara Angke juga memenuhi pasar lokal seperti Bandung, Serang, Garut, dan sekitarnya. Ada juga yang diproduksi keluar pulau dan kebutuhan ekspor.

“Dulu, menjadi pedagang ikan asin cuma modal dengkul. Kalaupun ada itu hanya kepercayaan. Tapi, untuk sekarang, kepercayaan saja tidak cukup. Sekarang banyak hal sudah berubah. Perlu modal besar,” kenang kakek dengan 12 cucu ini.

Selain modal dengkul, seperti yang dialami H. Syarifuddin, usaha pengasinan ikan adalah warisan turun temurun. Tidak sedikit pedagang sekarang adalah pewaris dari orang tuanya yang dulu menjadi pedagang ikan asin. Salah satunya adalah Hj. Eti, pewaris dan anak dari Hj. Uniah. Hj. Eti merupakan satu dari sekian pedagang besar yang biasa mengirimkan barangnya ke Lampung. Kini karyawannya mencapai belasan orang.

Menurut penuturan warga kampung nelayan, nelayan, pengasin dan pedagang Muara Angke kebanyakan datang dari Indramayu. Khusus pedagang, mereka datang dari Kampung Parean, salah satu kampung nelayan di Indramayu. Ada juga yang datang dari Serang, Tangerang, Tegal, dan Pekalongan.

Selain berdagang ikan, mereka juga berdagang garam yang dipakai untuk mengasinkan ikan. Barangnya mereka datangkan langsung dari Indramayu dan Cirebon. Awalnya, mereka mengambil dari koperasi. Namun, karena urusan pembayaran dan administrasi yang panjang, telah memaksa mereka mendatangkan garam dari kampung halamannya.

Sekarang, setelah digunakannya penyimpanan ikan di ruang pendingin (cold storage) keadaan berubah. Ruang pendingin ini dipakai mengawetkan ikan sehingga tekstur ikan terjaga dari kelayuan. Dengan pendingin, ikan atau cumi bisa bertahan 1 - 2 bulan.
Bagi pedagang kecil, cara ini tidak bisa ditempuh karena terbatas modal. Hal ini juga yang menyebabkan pemasukan mereka menurun. Butuh modal besar untuk memasukkan ikan ke sana. Memang, ikan yang disimpan dengan pendingin hasilnya bagus. Untuk yang bermodal besar, tidak sulit menempuh jalur ini.

Melihat kondisi tersebut, kontribusi pemerintah dalam pengadaan ruang pendingin dengan harga terjangkau mampu menaikkan harga ikan para pedagang kecil. Sehingga secara ekonomi, mereka juga terangkat. Sebagai negara kepulauan, pemerintah sudah saatnya mencari jalan keluar agar produksi hasil laut tangkapan nelayan memiliki daya jual. Saat ini saja, produksi ikan asin dari Muara Angke belum bisa masuk pasar ritel modern. Sayang. Potensi yang begitu besar, belum tergarap maksimal.

Read More ..

Cara Lain Pelajari Sejarah

Bila sekolah dulu, mungkin pelajaran Sejarah sering dibilang sebagai pelajaran yang membosankan. Murid-murid lebih banyak mengantuk dari pada memerhatikan guru yang sedang menerangkan keberadaan kerajaan Sriwijaya di Indonesia, misalnya.

Kalau hanya dipejari di dalam kelas atau hanya membacanya di buku, sejarah memang cukup membosankan. Kita hanya bisa membayangkan, tanpa tahu bagaimana bentuk nyata dari sejarah tersebut. Lain halnya, bila kita tergabung dalam Komunitas Peduli Sejarah dan Budaya Indonesia atau disingkat KPSBI-HISTORIA yang memiliki konsep “rekreatif, edukatif dan menghibur” dalam mengembangkan pola pikir masyarakat terhadap sejarah dan budaya. Dengan konsep tersebut, akan tercipta suasana menyenangkan dan membekas di hati siapa saja yang mengikutinya.

Kalau biasanya banyak yang membenci dan menganggap sejarah itu membosankan, garing, ngebetein, bikin ngantuk dan seribu ejekan lain, maka dengan bergabung di dalam komunitas ini, mereka akan menemukan tempat di mana mempelajari dan mencintai sejarah dan budaya itu tanpa paksaan dan apa adanya. Kondisi demikianlah yang dikenal sebagai kesadaran sejarah.

“Yang kami lakukan adalah bagaimana membuat sejarah menjadi menarik dan menyenangkan. Sehingga pada akhirnya orang dengan mudah mendapatkan pelajaran dari pengetahuan tentang suatu peristiwa sejarah,” kata Ketua Komunitas Peduli Sejarah dan Budaya Indonesia (Komunitas Historia), Asep Kambali.

Pada awalnya, Komunitas Historia didirikan karena keprihatinan beberapa mahasiswa jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) –dahulu IKIP Jakarta dan mahasiswa jurusan sejarah Universitas Indonesia (UI) terhadap kondisi masyarakat yang enggan mempelajari sejarah dan budaya bangsa. Banyak di antara masyarakat yang tidak peduli dengan potensi sejarah dan budaya yang dimilikinya.

Kesepakatan dibentuknya Komunitas Peduli Sejarah dan Budaya Indonesia atau dengan Asep Kambali sebagai ketua di hasilkan pada forum rapat di UNJ Rawamangun pada 22 Maret 2003.

Menurut Humas Historia, Bondet, hubungan baik yang dibina Komunitas Historia dengan berbagai pihak, terutama yang terkait dengan pendidikan, pariwisata, sejarah dan museum, akhirnya membawa Asep dan Komunitas Historia menjadi mitra utama berbagai pengelola bangunan tua di Jakarta, seperti Museum Sejarah Jakarta, Museum Bank Mandiri, Museum Bank Indonesia, Kantor Pos Jakarta Taman Fatahillah, Musuem Juang 45, Café Batavia, Xpose Cafe, Cafe Galangan, Museum Bahari, Museum Kebangkitan Nasional dan lain sebagainya.

Komunitas Historia memiliki visi membangun kesadaran sejarah dan budaya masyarakat Indonesia yang pada akhirnya kesatuan dalam perbedaan atau Nasionalisme sebagai visi terakhir dari Komunitas Historia akan tercapai.

“Komunitas ini ada karena satu kegelisahan. Sejarah kok membosankan? Orang juga cenderung meninggalkan sejarah, enggan belajar dari pengalaman sejarah,” ucap Asep.
Asep juga menambahkan bahwa Komunitas Historia mengacu pada tiga hal penting dalam misinya guna mewujudkan setiap program komunitasnya. Pertama, bahwa kegiatan Komunitas Historia itu harus bersifat rekreasi-langsung atau mengalami. Karena dengan proses mengalami sejarah akan mudah dicerna dan diingat.

Kedua, kegiatan Komunitas Historia harus mendidik. Hal ini mengingat bahwa sejarah dan budaya tentunya banyak mengandung unsur pengetahuan dan hikmah yang harus disampaikan secara edukatif. Agar mereka mendapat kemampuan kognisi dan afeksi sehingga memunculkan jiwa yang kritis terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketiga, unsur lain yang harus ada dalam mempelajari sejarah dan budaya yang diterapkan Komunitas Historia adalah dengan menambahkan unsur hiburan atau entertainment di dalamnya. Ini akan menambah suasana jadi menyenangkan dan menggairahkan bagi siapa saja yang terlibat dalam program Komunitas Historia. Seperti dengan heritages games dan menonton film ”tempo doeloe” di museum.

Program Komunitas Historia
Ada beberapa program Komunitas Historia yang bisa diikuti oleh mereka yang ingin mempelajari sejarah dengan cara menyenangkan dan sambil rekreasi.

1.Jakarta Trail

Program ini dimulai sejak awal 2005 sampai sekarang. Kegiatan JakartaTrail sebelumnya bernama Wisata Kampung Tua –Museum Sejarah Jakarta yang digelar sejak tahun 2002 – 2005.

Jakarta Trail merupakan kegiatan jalan-jalan santai di siang atau sore hari untuk menelusuri jejak warisan sejarah dan budaya yang terdapat di Kota Tua Jakarta dan sekitarnya, atau tempat-tempat yang dinilai memiliki warisan sejarah dan budaya di Jakarta.

Di kawasan ini terdapat banyak sekali situs bersejarah dan berbagai macam bangunan tua dari masa kolonial Belanda. Melalui kegiatan ini, diharapkan sejarah dan budaya Jakarta akan terkuak dan pesona serta potensi sejarah dan budaya sebagai aset pembelajaran dan pariwisata sejarah semakin dapat diwujudkan.

Inti sesungguhnya kegiatan ini adalah ingin memberitahukan, ”ini loh bangunan tua peninggalan masa lalu bangsa kita yang seharusnya kita jaga dan kita pelihara demi generasi mendatang”. Dengan strategi menyentuh human interest dan emotional sense peserta, kegiatan JakartaTrail ini menjadi lebih berbobot ketimbang jalan-jalan biasa. Karena sehabis mengikuti tour ini, diharapkan akan tumbuh kesadaran sejarah berupa koginsi dan afeksi terhadap bangunan-bangunan bersejarah di Kota Tua Jakarta.

2. Wisata Malam Kota Tua Jakarta

Kegiatan lain yang tak kalah menarik adalah Wisata Malam Kota Tua Jakarta, yaitu sebuah upaya penelusuran bangunan cagar budaya di Kota Tua Jakarta yang dilakukan pada malam hari. Kegiatan ini pada dasarnya ingin memberikan pengalaman berbeda dari Jakarta Trail yang diselengarakan pada siang hingga sore hari. Suasana malam memang terasa berbeda ketimbang siang hari. Selain malam relatif lebih teduh, bangunan-bangunan tua peninggalan kolonial itu jika dipandang malam hari terasa lebih eksotis dan menarik bagi mereka yang hobi footograpi.

Wisata Malam Kota Tua Jakarta tidak jauh berbeda proses pelakasnaanya. Hanya saja bedanya dilakukan pada malam hari. Tujuannya pun sama, setidaknya para peserta dan masyarakat Jakarta sadar bahwa Kota Tua Jakarta, baik di siang maupun malam hari, tetap saja menyenangkan dan bermanfaat edukasi dan rekreasi.

3. Wisata Bahari: Historical Island Adventure
Wisata Bahari sebenarnya program penjelajahan laut menguak jejak Kolonial di Teluk Jakarta. Karena Teluk Jakarta adalah gerbang awal masuknya para penjelajah dunia ke Sunda Kalapa. Selain menelusuri pulau-pulau bersejarah di kawasan Kepulauan Seribu, kegatan ini diharapakan dapat mengembangkan kecintaan terhadap bahari dan situs bersejarah di Kepulauan Seribu.

Acara Wisata Bahari ini diakhir dengan bakar-bakar ikan dan makan malam bersama di pinggir pantai yang ditemani hangatnya api unggun. Keesokan harinya, peserta diajak berkeliling Pulau Onrust yang dilihat semalam. Banyak peserta yang terkagum-kagum melihat berserakannya situs-situs sejarah dan arkeologi yang berantakan dan tak terawat.

Di samping kegiatan-kegiatan tersebut, Komunitas Historia juga memiliki kegiatan lain yang menarik. Seperti, diskusi, bedah buku, talkshow dan seminar, bakti sosial, Historia Members Gathering, dan Jaringan Komunikasi Komunitas Historia.

Dalam beberapa tahun terakhir, anggota Komunitas Historia terus bertambah. Tercatat jumlah anggota per Juni 2008 berjumlah hampir 2700-an anggota. Bertambahnya anggota di satu sisi dapat menjadi keunggulan, tapi di sisi lain dapat juga menjadi ancaman bagi Komunitas Historia itu sendiri. Anggota yang banyak dapat menjadi keunggulan jika pengelolaannya ditangani dengan baik. Begitu pula sebaliknya, jika ditangani secara tidak serius maka akan menjadi ancaman.

“Dengan sistem keanggotaan yang tidak mengikat, komunitas ini benar-benar menjadi wadah bagi pencinta sejarah dan budaya. Maka itu, anggotanya bisa datang dan pergi. Mereka yang memang cinta sejarah, akan setia dan bertahan. Kalau pun tidak terlalu cinta, bisa juga tetap bergabung, sekadar menambah teman…,” tutup Asep.

Read More ..

About This Blog

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP