Menunggu Panas, Mengais Rezeki
Panas matahari siang itu tidak sampai menusuk ubun-ubun kepala. Teriknya sedikit bersahabat bagi kebanyakan warga ibukota. Tapi, tidak bagi mereka para pengasin ikan di Muara Angke. Hanya dengan terik yang menyengat, rezeki mereka tersurat.
Bagi para pengasin, “berjemur” membalik ikan agar cepat kering adalah hal biasa. Tak kecuali bagi penarik gerobak yang membawa ikan dari pelelangan menuju tempat penjemuran ikan. Terik yang membuncah, bagi mereka, seakan sudah menjadi anugerah. Tak peduli walau badan harus menghitam.
Faktor cuaca yang panas, oleh kebanyakan pengasin ikan Muara Angke, adalah rahmat. Mafhum saja mengingat mereka masih mengandalkan sinar matahari sebagai media alami mengeringkan ikan. Cara tradisional seperti ini hampir menjadi jurus pamungkas para pengasin ikan.
“Kalau panas sekali, waktu dua hari cukup untuk menjemur ikan. Tapi kalau cuaca mendung, apalagi hujan, perlu waktu berhari-hari agar kering. Kalau sudah begini, tidak ada cara lain kecuali menunggu terang,” kata H. Syarifuddin salah seorang pedagang ikan asin yang menjadi salah satu sesepuh di situ.
Cara tradisional mengeringkan ikan seperti ini pernah dicarikan jalan keluarnya oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI. Lewat pengurus Pengelola Hasil Perikanan Tradisional (PHPT), beberapa ahli diundang memberikan penyuluhan pada nelayan dan pengasin tentang cara mengolah ikan yang baik. Misalnya, jurus mengeringkan ikan lewat teknologi oven.
Namun, rumusan penyuluh di atas kertas jauh dari realitas di lapangan. Cara ini pernah diujicobakan pada mereka, tapi tidak bertahan lama. Yang ada, oven yang semula digunakan sebagai pengering ikan, sekarang teronggok begitu saja tidak terpakai.
Alasannya, secara kuantitatif, mengeringkan dengan oven hanya cukup menampung 1 - 2 kuintal ikan saja. Lain halnya jika ikan dikeringkan di atas penjemuran yang bisa mencapai puluhan ton. Lagipula, ketika musim ikan tiba, tidak semua orang bisa menggunakan oven pengeringan.
Dari segi rasa, ikan asin yang dijemur di bawah sinar matahari lebih gurih dan nikmat. Jauh dibandingkan ikan yang dikeringkan dengan oven. “Ikan yang dioven tidak ada rasanya. Hanya menang kering,” kata H. Syarifuddin sesekali mengisap rokok kreteknya dalam-dalam.
Lokasi pengolahan ikan asin Muara Angke yang berdiri tahun 1984, sejak awal diperuntukan untuk memfasilitasi para pengolah ikan agar produksinya bisa terkontrol kebersihannya. Berbagai jenis ikan asin, pindang, dan asap dihasilkan di sini. Beberapa toko banyak yang menjual ikan asin dalam partai besar maupun eceran. Di atas lahan seluas 4,5 hektar ini, para pedagang dan pengasin mencari banda untuk diri dan sanak saudara.
Para nelayan dan pengasin ikan di Muara Angke hidup di atas tanah pemerintah. Mereka harus mengeluarkan biaya sewa lahan sebagai tempat menjemur ikan. Antara tahun 1984 - 1999, para pengolah membayar sewa Rp 26.000/bulan. Namun, sejak tahun 2000 sampai sekarang sewanya dinaikkan menjadi Rp 50.000/bulan. Luas tiap unit 5 x 6 meter persegi.
Sebelum mendarat di Muara Angke, para nelayan dan pedagang ikan ini tinggal di Kali Baru, Cilincing, Jakarta Utara. Namun, pada 1990, mereka dipaksa angkat kaki karena di atas lahan yang mereka tinggali sekarang dibangun mega proyek pemerintah, Kawasan Briket Nusantara Marunda. Sebagian yang tidak tergusur tetap bertahan. Sedangkan yang tersisih harus pindah ke Muara Angke.
Usaha Turunan
Potensi ikan Muara Angke sungguh luar biasa. Menurut penuturan H. Syarifuddin, untuk pengasinan ikan, Muara Angke adalah tempatnya. Karena itu, Muara Angke menjadi terminal terakhir nelayan menjual hasil lautnya. Tak heran para nelayan Cilincing dan Marunda datang ke sini menjual hasil tangkapannya.
Produksi ikan asin Muara Angke antara 30-40 ton per hari. Terdiri atas berbagai jenis ikan, antara lain jambal, teri, cunang, cumi, pari dan tembang. Jumlah ini bisa bertambah ketika musim panen ikan yang jatuh Mei - Agustus. Tapi, memasuki 3 bulan di akhir tahun, jumlah ikan akan turun drastis. Selama tiga bulan ini, nyaris aktifitas menjemur ikan berhenti. Kalaupun ada, paling banyak 1 - 2 ton saja.
Harga ikan asin di sini tergantung dari jenis ikan dan musimnya. Musim seperti ini, harga per kilo ikan tenggiri sekitar Rp 45 ribu, jambal Rp 27 ribu, cumi Rp 30-35 ribu, tembang Rp 3 ribu dan ikan beesan (biasanya dipakai membuat pelet) Rp 1.500.
Para nelayan ini bergabung dalam Koperasi Mina Jaya yang tidak menangani pemasaran dan produksi, melainkan hanya menyediakan fasilitas pengolahan secara kredit seperti, garam atau uang untuk membeli bahan baku dari nelayan.
Namun, posisi koperasi ini sekarang tidak sentral seperti dulu. Tidak semua pedagang ikan menggunakan jasa koperasi. Pasalnya, sekalipun tanpa meminjam kredit dari koperasi, para pedagang bisa meminjam cukup dengan menghutang dari pedagang lainnya. Model kedekatan dan kepercayaan satu sama lain adalah salah satu cara mendapat pinjaman yang berjalan selama ini.
Ada belasan pedagang ikan asin ada di sini. Kebanyakan datang dari daerah pantai utara Jawa. Tidak semuanya pedagang besar, banyak juga yang kecil. Pedagang seperti H. Syarifuddin, misalnya, hanya menjual ikan untuk pembeli lokal. Ada juga pedagang yang menjual ikannya sampai ke Lampung. Biasanya diangkut 2 - 3 truk sekali kirim.
Tapi, pedagang seperti H. Syarifuddin mampu membesarkan keenam anaknya. Beberapa lulus di perguruan tinggi dan berdagang, bahkan ada yang menjadi polisi. Dengan kondisinya sekarang ini, dirinya masih mampu menggaji 5 karyawannya masing-masing Rp 1 juta. Gaji yang mereka terima sudah bersih, di luar makan dan rokok.
Kadang-kadang, kalau penjualan lagi bagus, para pengasin diberi uang jajan. Besaran gaji, biasanya naik sesuai musim ikan. Meski hanya sebagai pekerja pengasin, mereka selalu mendapat tunjangan hari raya dari majikannya, para pedagang.
“Membedakan pedagang besar dengan kecil patokannya cukup mudah. Kalau ikannya dikirim sampai ke Lampung itu besar. Karena ikan yang dikirim bisa terangkut oleh dua sampai tiga truk sekali jalan,” ujar H. Syarifuddin.
Selain Lampung, pasokan ikan Muara Angke juga memenuhi pasar lokal seperti Bandung, Serang, Garut, dan sekitarnya. Ada juga yang diproduksi keluar pulau dan kebutuhan ekspor.
“Dulu, menjadi pedagang ikan asin cuma modal dengkul. Kalaupun ada itu hanya kepercayaan. Tapi, untuk sekarang, kepercayaan saja tidak cukup. Sekarang banyak hal sudah berubah. Perlu modal besar,” kenang kakek dengan 12 cucu ini.
Selain modal dengkul, seperti yang dialami H. Syarifuddin, usaha pengasinan ikan adalah warisan turun temurun. Tidak sedikit pedagang sekarang adalah pewaris dari orang tuanya yang dulu menjadi pedagang ikan asin. Salah satunya adalah Hj. Eti, pewaris dan anak dari Hj. Uniah. Hj. Eti merupakan satu dari sekian pedagang besar yang biasa mengirimkan barangnya ke Lampung. Kini karyawannya mencapai belasan orang.
Menurut penuturan warga kampung nelayan, nelayan, pengasin dan pedagang Muara Angke kebanyakan datang dari Indramayu. Khusus pedagang, mereka datang dari Kampung Parean, salah satu kampung nelayan di Indramayu. Ada juga yang datang dari Serang, Tangerang, Tegal, dan Pekalongan.
Selain berdagang ikan, mereka juga berdagang garam yang dipakai untuk mengasinkan ikan. Barangnya mereka datangkan langsung dari Indramayu dan Cirebon. Awalnya, mereka mengambil dari koperasi. Namun, karena urusan pembayaran dan administrasi yang panjang, telah memaksa mereka mendatangkan garam dari kampung halamannya.
Sekarang, setelah digunakannya penyimpanan ikan di ruang pendingin (cold storage) keadaan berubah. Ruang pendingin ini dipakai mengawetkan ikan sehingga tekstur ikan terjaga dari kelayuan. Dengan pendingin, ikan atau cumi bisa bertahan 1 - 2 bulan.
Bagi pedagang kecil, cara ini tidak bisa ditempuh karena terbatas modal. Hal ini juga yang menyebabkan pemasukan mereka menurun. Butuh modal besar untuk memasukkan ikan ke sana. Memang, ikan yang disimpan dengan pendingin hasilnya bagus. Untuk yang bermodal besar, tidak sulit menempuh jalur ini.
Melihat kondisi tersebut, kontribusi pemerintah dalam pengadaan ruang pendingin dengan harga terjangkau mampu menaikkan harga ikan para pedagang kecil. Sehingga secara ekonomi, mereka juga terangkat. Sebagai negara kepulauan, pemerintah sudah saatnya mencari jalan keluar agar produksi hasil laut tangkapan nelayan memiliki daya jual. Saat ini saja, produksi ikan asin dari Muara Angke belum bisa masuk pasar ritel modern. Sayang. Potensi yang begitu besar, belum tergarap maksimal.