Melihat Bakat Lewat Sidik Jari
Bakat, atau kelebihan seseorang di suatu bidang memang tak mudah ditemukan. Bakat tidak hanya didapat dari warisan garis keturunan. Dan untuk menjadikan bakat teraktualisasi, perlu ada intervensi atau pengasahan atas kapasitas bakat tadi. Tapi, jika belum tahu bakat apa yang terpendam dalam diri anak-anak kita, bagaimana mengasah bakatnya agar menjadi kemampuan khusus?
Guna mengetahui bakat anak, orangtua perlu menstimuli dan mengetesnya. Antara lain dengan memaksimalkan seluruh modalitas sang anak, misalnya dari pendengaran, penglihatan, pencecapan, perabaan, dan sebagainya, sejak anak berumur 6 bulan.
Pun demikian, sesungguhnya menggali potensi bakat anak, bisa dilakukan dengan banyak cara. Yang lazim dilakukan orangtua adalah dengan mengikutkan anak-anaknya pada bermacam-macam kursus sekaligus. Cara ini memang bukan tindakan yang keliru, namun, agar lebih terarah serta tidak membuang waktu dan biaya, kini tersedia tes-tes yang telah teruji keakuratannya. Dengan demikian, potensi anak dapat langsung diketahui dan orangtua dapat sedini mungkin memberikan arahan yang tepat.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, ditemukan cara baru untuk mengetahui potensi anak sejak dini, yaitu dengan fingerprint test atau tes sidik jari. Fingerprint test adalah sebuah metode yang didasarkan pada ilmu dermathoglypic, yaitu ilmu yang mempelajari guratan-guratan di kulit. Dimana telah banyak dilakukan penelitian ilmiah tentang sidik jari ini. Antara lain dilakukan oleh Govard Bidloo sejak 1685 sampai dengan Marcelo Malpigh Kritine Bonnevie (1923). Dalam prosesnya, pembentukan sidik jari sudah dimulai saat janin berusia 13 minggu, bersamaan dengan pembentukan otak, dan sempurna pada minggu ke-21. Sidik jari manusia ditentukan oleh DNA, yang berhubungan erat dengan perkembangan sistem saraf. “Tes sidik jari telah melalui proses penelitian yang sangat panjang,” kata Sebastiana Linawati dari Yayasan Polaris (Children Education & Counseling).
Menurut Linawati, yang dijumpai di kediamannya di kawasan Alam Sutera, fingerprint test ini sudah bisa dilakukan sejak anak berusia di bawah 1tahun. Namun, untuk kemudahan pengambilan data, sebaiknya dilakukan pada usia minimal 2 tahun, juga sangat berguna bagi para profesional (orang dewasa).
Proses pengambilan sidik jari ini sangat sederhana, kesepuluh jari tangan di-scan, dengan alat scan seperti mouse yang terhubung dengan komputer penyimpanan data. Dari pola sidik jari dan telapak tangan dapat dilakukan penghitungan berdasarkan TNGT (total nerve growth factor) mulai jumlah alur, pola, ketajaman sudut dan pola segitiga telapak tangan (ATD). Untuk pengambilan data ini dibutuhkan waktu sekitar 10-20 menit. Setelah data diambil, analis akan memprosesnya sekitar 5 hari.
Selanjutnya, tim psikolog akan memaparkan hasilnya kepada orangtua si anak. “Saat konsultasi inilah dapat digali masalah yang ada antara bakat, kendala yang ada, pengaruh pola asuh serta stimulasi lingkungannya. Dimana hal ini semua saling berkaitan dalam pengembangan potensi anak,” ujar Linawati menjelaskan.
Hasil tes dan keakuratan
Nilai keakuratan Fingerprint test boleh dikatakan 90%, karena tidak dipengaruhi kondisi emosional dan tidak dibutuhkan pengetahuan otak. “Dan karena sifat sidik jari yang abadi, hasil tes ini berlaku seumur hidup, investasi 1 kali seumur hidup memang cukup mahal,” ujar Lina sambil tersenyum menyebutkan biaya Fingerprint test tersebut berkisar antara Rp1,2 juta sampai dengan Rp1,5 juta.
Dari hasil tes tersebut dapat diketahui antara lain: potensi individu, kapasitas otak kanan dan kiri, basik karakter, gaya belajar anak dan saran profesi berdasarkan pengembangan hasil Multiple Intelligences yang sudah tidak asing lagi bagi kita. “Bahkan dengan alat finger print terbaru yang kita miliki dapat diketahui 10 kecercasan Multiple Intelligences yang sekarang berkembang” ujar Lina, dimana dalam waktu dekat ini Yayasan Polaris yang bergabung dengan SMART Solution akan mengadakan seminar dan Fingerprint test di daerah Serpong.
“Apapun hasil tes yang diperoleh, orangtua harus tetap membantu anak menstimulasi 3-4 kecerdasan yang tertinggi dan jangan terlalu merisaukan kecerdasan terendah, karena potensi tertinggi paling mudah dikembangkan, dengan berkembangnya potensi tersebut, kecerdasan yang lain juga akan berkembang. Terlebih, orangtua juga tidak boleh memaksakan kehendaknya,” tukas Lina menutup pembicaraan.