Masih Menu Bakar-bakaran dan Kepiting


Kami percaya bahwa kita mampu menghadirkan ikan di meja makan dengan tetap menjaga jumlah populasi ikan, kelestarian lingkungan dan kesehatan ekosistem laut. Bila Anda memilih dengan hati-hati hidangan laut (seafood) yang Anda nikmati, dengan cara memahami lebih jauh bagaimana pengelolaan perikanan dilakukan, Anda telah berkontribusi dalam melestarikan laut untuk masa depan.


Produk seafood Indonesia terancam kelangsungannya ketika kawasan pesisir dan perikanan karang memberi tekanan yang sangat tinggi pada populasi dan lingkungan hidup ikan.

Begitulah kira-kira himbauan dari WWF (World Wild Fund) Indonesia kepada pecinta masakan seafood. Badan internasional yang mengurus kelangsungan hidup satwa tersebut mengajak kita untuk selektif dalam memilih jenis masakan seafood yang akan dikonsumsi.

Memang, kalau dipikir-pikir, bahan baku masakan seafood yang kebanyakan diambil dari laut lepas, didapat dengan cara yang tidak memedulikan alam. Pun kelangsungan hidup satwa-satwanya sendiri.

Misalnya, Lobster dan kerapu, pada umumnya ditangkap dengan cara menyemprotkan
racun. Racun tersebut juga membunuh terumbu karang dan satwa laut lainnya.

Begitu juga dengan udang. Udang diternakkan dalam tambak, yang dibangun dengan menebang hutan bakau (mangrove) serta menggunakan bahan kimia yang buangannya dapat merusak ekosistem sekitarnya. Tanpa pohon bakau, garis pantai akan terkena erosi dan tempat perkembangbiakan alami ikan akan hilang.

Begitulah kira-kira bagaimana masyarakat harus ikut bertanggung jawab. Setidaknya ikut membantu dengan memilih menu apa yang kira-kira aman untuk dikonsumsi.

Menurut informasi yang dilansir dari situs WWF Indonesia, ada beberapa makhluk laut yang konsumsinya perlu dihindari. Di antara yang populer adalah Kerapu, Lobster/udang Karang, dan Hiu. Sedangkan yang masuk daftar harus dikurangi tingkat konsumsinya adalah, telor ikan, ekor kuning, kepiting bakau, gurita, baronang, udang, kakap, todak, dan ikan kambing-kambing.

Dengan menjaga ekosistem dan kelangsung hidup makhluk laut, sejatinya sama saja dengan menjaga kelangsungan bisnis rumah makan seafood yang menjadi tema utama dalam rubrik ini.

Tapi sayangnya, mereka-mereka yang bergelut dalam bisnis ini sepertinya belum peduli dengan hal tersebut. Padahal, bila makhluk-makhluk laut tersebut punah, apa yang akan mereka sajikan kepada konsumennya. Tidak akan ada lagi yang namanya restoran seafood.

Malah ada yang optimis kalau ikan laut dan sebagainya tidak akan punah. “Kalau sampai punah tidak mungkin. Tapi, kalau berkurang sih, bisa saja,” katanya.

Seafood Komunitas

Buat masyarakat Jakarta, mungkin bila ingin mengonsumsi seafood bisa beranjak ke daerah Muara Karang. Di sana, kita bisa puas menyantap berbagai menu seafood. Tapi, buat yang malas pergi ke tempat tersebut, bisa saja menyambangi restoran atau rumah makan seafood yang berada di komunitasnya.

Seperti di Jakarta Barat, khususnya di wilayah Kebon Jeruk dan Kembangan. Di situ, lumayan banyak berdiri tempat makan hidangan laut. Mulai yang pinggir jalan sampai restoran dengan fasilitas mewah.

Sebut saja seperti Saung Grenvil yang merupakan rumah makan seafood pertama di wilayah perumahan tersebut. Atau tempat makan pinggir jalan Sari Laut 102 yang selalu dipenuhi penggemarnya setiap hari.

Menurut sebagian besar pengusaha, prospek usaha rumah makan seafood di komunitas kita masih cukup menjanjikan. Alasan sederhananya, adalah karena masih banyak masyarakat yang menyukai menu-menu hidangan laut.

”Bisnis kuliner hampir sama dengan jasa. Pastinya akan terus dibutuhkan masyarakat. Apalagi makanan dikatakan kebutuhan primer yang membuat bisnis ini masih terbuka lebar dan akan terus berkembang. Seperti halnya Saung Resto yang setiap bulannya selalu mengalami peningkatan omset sebesar 10-15 persen,” kata Pemilik Saung Resto, Purnama.

Senada dengan Purnama, menurut Manajer D’Cost, Wawan, prospek bisnis ini masih sangat bagus. Ini bisa dilihat ketika kami pertama kali buka beberapa waktu lalu, resto ini banyak didatangi orang. Bahkan kalau weekend, banyak yang masuk waiting list.

Tapi, walau begitu, ada pula pengusaha yang berbeda pendapat. Menurutnya, tidak bisa dipungkiri, 2 tahun belakangan ini bisnis restoran seafood mengalami kesulitan. Meski tetap optimis, harga bahan baku yang tidak menentu dan mahalnya BBM membuat bisnis ini sedikit tersandung.

”Saya masih optimis dengan bisnis ini. Namun, sekarang saya agak kesulitan karena harga bahan bakunya yang tidak menentu,” ucap Pemilik Sari Laut 102, Maskur.

Sementara itu, kata Purnama, salah satu kendala bisnis ini adalah harga bahan pokok yang selalu naik. Ini karena naiknya harga BBM yang berimbas pada naiknya biaya transportasi/angkutan.

Di samping itu, ada pula yang mengaku kesulitan mendapatkan bahan baku karena adanya perdagangan bebas.

”Kendala dalam bisnis ini lebih pada susahnya mendapatkan bahan baku karena adanya perdagangan bebas. Banyak pengusaha dari negara lain sudah langsung masuk ke wilayah-wilayah Indonesia. Mereka langsung membeli kepada tengkulak-tengkulak yang mengakibatkan pengusaha Indonesia kesulitan mendapatkan bahan baku,” ujar Pemilik Saung Grenvil, Johan.

Lalu bagaimana dengan tingkat kompetisi dan sikap para pengusaha rumah makan seafood sendiri mengenai hal tersebut? Pendapat mereka berbeda-beda. Ada yang mengatakan sudah tak jamannya lagi, tapi ada pula yang menyikapinya dengan serius.

”Kalau dengan kompetitor, kita biasa-biasa saja. Malah kita bisa bilang, tidak terlalu menganggap mereka sebagai pesaing. Menurut saya, sekarang ini bukan jamannya lagi saing-saingan,” kata Fandi.

Bicara soal kompetitor, ujar Johan, kita tidak perlu takut. Dalam hal ini, terpenting adalah kualitas yang kita berikan pada konsumen. Mereka adalah orang-orang pintar yang kritis dan mengerti mana kualitas yang terbaik.

Berbeda dengan Wawan yang memilih berjalan apa adanya dalam menghadapi kompetitor. ”Dalam hal ini, kami tetap pada konsep sendiri yakni mempertahankan kualitas dan harga yang relatif lebih murah jika dibandingkan tempat lain,” ungkapnya.

Menu Paling Disuka

Ada beberapa menu favorit dalam kisaran menu seafood. Sebagian besar sangat suka dengan menu bakaran seperti ikan bakar. Selebihnya, adalah berbagai olahan menu kepiting.

Seperti yang disebutkan Purnama, menu yang paling disukai tamu di restorannya adalah menu bakaran yang rasanya lebih pada masakan Makassar.

Begitu juga dengan menu paling banyak dipesan di Sari Laut 102 yang terkenal dengan sambal cobeknya. ”Biasanya yang paling banyak dipesan adalah ikan bakar,” ucap Maskur.

Sementara itu, D’Cost yang dikatakan memiliki harga menu termurah, memiliki menu favorit Kepiting Lada Hitam. ”Karena rasanya yang sangat beda dengan tempat lain. Bukan itu saja, rasanya juga seragam dengan D’Cost di wilayah lain,” jelas Wawan.
Sama halnya dengan Rasane Pesanggrahan yang kata Fandi memunyai menu favorit Kepiting Asap.

Kemudian bila dibandingkan antara harga dan cita rasa, sepertinya sebagian besar warga komunitas lebih memilih kualitas rasa terlebih dahulu. Kalau rasanya cocok dengan lidah mereka dan dibilang enak, masalah harga nomer dua.

”Konsumen memilih menu makanan karena rasanya. Meski terkadang ada juga yang memilih menu lainnya, biasanya mereka akan kembali lagi dan memesan makanan yang biasa mereka makan,” ujar Purnama.

Biasanya, tambah Fandi, kalau pengunjung yang datang ke Rasane, memilih menu berdasarkan rasanya, bukan karena harganya.

Tapi, kalau memang ada tempat makan yang rasanya enak terus harganya juga terjangkau, mungkin akan lebih enak lagi. ”Konsumen tidak hanya memilih masakan dengan melihat harganya saja, tapi juga rasanya. Hal inilah yang ada di resto ini. Harga terjangkau dengan rasa yang lezat,” kata Wawan.

Bahan Baku dan Koki
Setiap menu masakan lezat pasti tidak bisa dipisahkan dengan kualitas bahan baku dan siapa yang memasaknya. Bahan baku yang bagus dan koki yang pintar memasak, membuat menu banyak digandrungi orang.

Oleh karena itu, setiap tempat makan seafood pun sangat berhati-hati dalam memilih bahan baku dan menjaga standar kecakapan memasak koki-kokinya.

”Dalam memilih bahan baku, dari bumbu, ikan, kepiting, sampai sayur-mayur, saya sangat selektif sekali. Seperti sayur-sayuran, saya langsung membelinya dari para petani yang berkebun. Sama halnya dengan bumbu-bumbu. Saya tidak pernah membeli bumbu jadi,” cerita Purnama.

Begitu juga dengan koki yang ada di resto ini, tambahnya, mereka bukan koki sembarangan. Koki masakan chinese food, misalnya. Dia merupakan gurunya masakan chinese food. Banyak koki-koki yang belajar dari dia.

Selain bersih dan higienis, ada pula restoran yang memiliki standar tertentu ketika memilih bahan baku. ”Pemilihan bahan baku dilakukan sangat selektif sekali. Jika memang tidak masuk dalam kriteria, seperti kualitas, termasuk beratnya, maka tidak akan kami ambil,” kata Johan.

Agar dapat menjaga kualitas, Johan pun ambil peran dalam urusan masak. Meski begitu, koki-koki Saung Grenvil pun tidak diragukan lagi kepiawaiannya dalam memasak. ”Sejak buka hingga saat ini, saya masih berperan sebagai koki bersama yang lain. Saya langsung terjun guna memertahankan kualitas rasa,” ucap Johan.

Setiap tempat makan memiliki cara yang berbeda dalam mendapatkan bahan baku. Ada yang mengambil dari suplier tertentu, tapi ada juga yang mendapatkan bahan baku dengan langsung membeli ke pasar.

”Biasanya saya atau isteri langsung belanja sendiri. Tidak mengambil dari supplier. Dengan begitu, saya bisa langsung memilih sendiri kualitas bahan baku yang mau dipake buat memasak,” ungkap Maskur.

Kalo di resto saya, Wawan menimpali, kualitas bahan baku yang ada sangat baik. Saya mengambilnya melalui suplier yang menjadi langganan resto-resto seafood lainnya.

Konsep dan Fasilitas
Beda tempat, beda konsepnya. Lain tempat, lain pula fasilitasnya. Bila tempat makan seafood didirikan di pinggir jalan, yang ada hanya kursi plastik dan meja makan seadanya. Kita bisa lihat di Sari Laut 102, warung tenda ini hanya menyediakan tempat makan seadanya. ”Konsepnya biasa saja seperti ini, suasana warung tenda dengan kursi plastik,” kata Maskur.

Tapi, kalau rumah makan dibangun di tempat permanen, tentunya akan lain konsep dan fasilitas tersedia. Simak saja apa yang dikatakan Purnama dengan Saung Bumi Permatanya.

”Konsep ruang makan lebih kepada resto keluarga. Bisa kita liat dari setiap meja yang menyediakan lebih dari 5 bangku. Tapi, ada juga ruangan tertentu yang didesain sangat romantis. Biasanya digunakan oleh pasangan muda atau eksekutif muda bersama rekan bisnisnya untuk makan siang atau makan malam,” jelas Purnama.

Selain itu, lanjutnya, resto ini juga sangat lengkap dengan fasilitas seperti function room lengkap dengan peralatan multimedia, bilyard, karaoke, dan lainnya. Ruang makan berkapasitas 100 orang. Sedangkan function room bisa dipakai untuk 200 orang. Belum lagi area parkir yang cukup luas.

Mengenai hal tersebut, antara tempat makan pinggir jalan dan restoran, memang tidak bisa disamakan. Tinggal bagaimana masyarakat memilihnya. Bila mau mengeluarkan kocek sedikit mahal, bisa makan di restoran yang bagus, tapi kalau memang bujetnya pas-pasan, bisa memilih warung tenda. Toh, yang membuat beda hanyalah suasana dan fasilitas. Mengenai rasa, biasanya beda-beda tipis.

Kemudian tentang peruntukan tempat makan atau restoran seafood komunitas, kebanyakan adalah untuk berbagai kalangan. Tidak ada yang berani mendeklarasikan hanya untuk satu usia tertentu atau kalangan. Karena hal tersebut tentunya akan membatasi jumlah konsumen. Apalagi seafood memang disukai oleh semua orang.

”Konsumen yang datang ke resto ini sangat merata. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa hingga lanjut usia. Namun jika hari biasa, lebih dominan kaum eksekutif muda yang menghabiskan waktu makan siang atau makan malam di resto ini, ” ucap Johan.

Menurut Wawan, mereka yang datang terbilang rata. Ada keluarga, orang kantoran, anak-anak, remaja, pejabat, dan lainnya. Hal ini disebabkan harga yang diberikan masuk kepada semua kalangan.

Sementara itu, hari dan waktu yang paling banyak digunakan masyarakat untuk mengunjungi rumah makan seafood adalah akhir pekan.

Saat-saat itu, biasanya tempat-tempat makan sesak dengan pengunjung. Apalagi bila di malam hari. ”Biasanya, rame-ramenya Rasane itu pada hari Sabtu dan Minggu sekitar pukul 19.30, karena hari-hari itu adalah hari wekeend yang digunakan masyarakat untuk mencari hiburan,” kata Fandi.

Saat akhir pekan, kata Wawan, memang paling banyak pengunjungnya. Malah sering kali pengunjung harus rela masuk dalam waiting list biar bisa makan. Padahal kapasitas resto kita sekitar 300 orang.

Dengan begitu banyaknya tempat makan seafood di komunitas, tentunya membuat masyarakat memiliki surga kuliner sendiri. Masyarakat tinggal memilih rumah makan mana yang paling disuka. Pun rasa yang sesuai dengan selera dan lidah mereka.

Tapi, yang perlu disikapi adalah bagaimana para pelaku bisnis rumah makan seafood menyiapkan dapur yang bersih dan higienis. Begitu juga dengan tempat penyimpanan bahan baku yang tidak bisa sembarangan. Jika sembrono, bisa menurunkan kualitasnya.

Ruang makan pun sebisa mungkin disiapkan dengan tingkat kenyamanan yang tinggi. Sering kali tempat makan seafood dihiasi dengan asap bakaran yang mengganggu. Sehingga setiap orang yang makan, harus bergulat dengan tebaran asap.

Meski begitu, seperti yang dikatakan salah satu pemilik rumah makan seafood di komunitas kita, rata-rata konsumen yang datang ke tempatnya adalah orang-orang pintar. Mereka bisa berpikir dan memilih rumah makan dengan pintar pula.

Dan bila rumah-rumah makan tadi tidak bisa menyikapi keinginan masyarakatnya, bukan tidak mungkin mereka akan ditinggalkan pelanggannya. Selamat bersantap!

Artikel Berkaitan

About This Blog

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP