Tampilkan postingan dengan label Masalah Sosial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masalah Sosial. Tampilkan semua postingan

Tinja dan Masalahnya

Semua orang tahu kalau tinja dapat membawa banyak masalah. Namun sayangnya, banyak orang yang tidak mau dan tidak mampu dalam mengurus tinja. Padahal kalau air tanah tercemar tinja, akan banyak penyakit yang diakibatkannya.

Masalah pembuangan dan pencemaran tinja bukan hanya masalah masyarakat miskin yang tinggal di perkampungan kumuh. Tapi, sering pula terjadi di perumahan-perumahan elit. Bahkan, petugas kebersihan pun sering berbuat keliru.

Ada beberapa masalah yang sering timbul berkaitan dengan tinja, misalnya :

1.Septic Tank Bocor
Akibatnya, sekitar 70% air tanah di daerah perkotaan sudah tercemar berat bakteri tinja. Padahal, separuh penduduk perkotaan masih menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan harian.

2.MCK yang Tidak Berfungsi
Selain usang dan terawat, banyak MCK tidak ada airnya. Lebih menyedihkan lagi, banyak pula yang tidak bisa digunakan setlah peresmian. Boleh jadi karena akibat salah konstruksi atau masyarakatnya yang memang belum siap.

3.Mencuci dan Mandi di Sungai Tercemar
Akibat keterbatasan akses pada MCK, banyak masyarakat kita yang mandi, cuci, dan kakus di sungai. Padahal, sungai-sungai tersebut sudah tercemar.

4.Jamban yang Asal-asalan
Ada sekitar 35% jamban di kawasan perkotaan yang tidak ada air bersih, atap, atau tidak tersambung dengan septic tank dan sejenisnya. Contohnya, jamban “helikopter” di pinggiran sungai atau jamban rumah yang mengalirkan tinja ke sungai yang berada di dekatnya.

5.Selokan Tersumbat
Walau harusnya hanya untuk mengalirkan air hujan, selokan nyatanya juga digunakan untuk menampung air kakus dan juga sampah. Akhirnya, selokan pun menjadi sumber berbagai penyakit.

6.Efluen Industri di Kawasan Pemukiman
Sebagian besar dialirkan ke sungai tanpa melalui proses pengolahan lebih dulu. Akibatnya, kualitas sungai semakin memburuk.

7.Buang Air Besar Sembarangan
Lebih dari 12% penduduk perkotaan Indonesia sama sekali tidak memiliki akses ke sarana jamban. Artinya, belasan juta penduduk perkotaan Indonesia masih membuang tinja langsung di kebun, selokan, atau sungai.

8.Pembuangan Liar Lumpur Tinja
Seusai menyedot habis isi septic tank, banyak truk tinja yang menggelontorkan muatannya langsung ke sungai. Akibatnya, sungai akan tercemar berat. Beragam alasan dilontarkan. Entah karena tidak ada atau tidak berfungsinya IPLT (Instalasi Pengolahan Limbah Tinja) di kota itu, atau karena petugasnya yang malas ke IPLT.

Read More ..

Tinja, Sampah, dan Banjir

Bukan hanya masalah drainase, ternyata Jakarta juga tidak memunyai layanan dan sanitasi kota yang baik. Akibatnya, Jakarta lebih cepat banjir dan berdampak lebih buruk. Hal tersebut diungkapkan Kasubdit Saluran Air dan Saluran Limbah Bappenas, Nugroho Tri Utomo, dalam sebuah talkshow media bertema “Bedah Banjir” beberapa waktu lalu.

Sanitasi buruk yang dimaksud Nugroho adalah tentang banyaknya MCK yang tidak berfungsi, efluen industri di kawasan perumahan, masyarakat yang BAB (buang air besar) sembarangan, pembuatan jamban yang asal-asalan, pembuangan liar lumpur tinja, dan masih banyaknya masyarakat yang mandi & cuci di sungai tercemar.

Sanitasi sendiri mencakup beberapa hal yang saling berhubungan. Di antaranya adalah pengelolaan limbah domestik, sampah domestik, dan drainase lokal (got dan saluran air).

Hal yang paling diperhatikan dalam pembangunan sanitasi yang baik adalah masalah pengelolaan limbah domestik (tinja) dan sampah. Kedua hal tersebutlah yang menjadi penyumbang banjir di Jakarta dan beberapa tempat di Indonesia.

Kenapa begitu? Limbah domestik atau tinja banyak dibuang masyarakat sembarangan. Kebanyakan dibuang langsung ke sungai atau selokan-selokan. Bersamaan dengan sampah, limbah domestik tersebut menjadi penyebab tidak lancarnya aliran air di selokan atau sungai.

Jika terjadi banjir, air-air sungai yang tercemar limbah domestik tersebut pun menjadi sarang penyakit yang biasa timbul di saat banjir.

Kemudian, karena adanya kandungan senyawa nutrien, limbah domestik ini pun akan memacu pertumbuhan ganggang. Akibatnya, fenomena yang disebut Eutrofikasi ini, membuat sungai atau waduk banyak ditumbuhi ganggang yang membuat aliran air tidak lancar.

Prinsip penanganan limbah dometik sendiri, menurut Nugroho, adalah ditampung (cubluk atau septic tank), dijauhkan dari aktivitas manusia, jauhkan dari pemukiman manusia (transportasi), dan diolah (IPAL).

Dari prinsip tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, terutama mengenai septic tank dan kebiasaan masyarakat membuang tinja langsung ke sungai.

Di Indonesia, septic tank digunakan sekitar 65% rumah yang ada di kawasan perkotaan. Tanah Jakarta dan sekitarnya saja, menyimpan lebih dari 1 juta septic tank. Hal yang mengkhawatirkan adalah belum adanya pengaturan septic tank di Indonesia.

Memang ada Standar Nasional Indonesia yang mengatur konstruksi septic tank. Tapi, belum ada aturan tentang jumlah septic tank per satuan luas kawasan, belum ada aturan yang mewajibkan pemilik rumah secara rutin melakukan penyedotan, dan belum ada pihak-pihak yang merasa berkepentingan memeriksa kondisi septic tank di wilayahnya.

Sering kali, masalah septic tank ini menjadi urusan pribadi pemilik rumah. Setiap orang dirumahnya mengurus sendiri-sendiri tempat pembuangan tinjanya. Padahal, bila ada septic tank yang bocor, resapannya bisa mencemari air tanah dan mengancam kesehatan masyarakat sekitar.

Sekarang ini, sekitar 60% rumah-rumah memiliki sumur dan septic tank yang jaraknya tidak sampai 10 meter. Celakanya, banyak pula sumur di suatu rumah yang letaknya ternyata dekat dengan septic tank rumah tetangganya. Penghuni rumah tersebut selama ini tidak sadar kalau air yang digunakan untuk sikat gigi ternyata tercemar air tinja dari septic tank tetangganya.

“Kalau dalam jangka waktu 3 tahun septic tank tidak penuh, jangan bangga dulu. Karena itu berarti septic tank Anda telah mencemari lingkungan,” jelas Nugroho.

Septic tank di kawasan padat penduduk tentunya berjumlah sangat banyak. Setiap rumah diwajibkan untuk membuat septic tank sendiri, tidak peduli luas lahannya 50 m2 atau 5000m2. Tanpa disadari, kewajiban tersebut ternyata membuat populasi septic tank semakin tinggi.

Akibatnya, kualitas air tanah menurun karena banyaknya septic tank yang tidak memenuhi standar teknis yang ditetapkan. Ada yang mirip cubluk karena dasarnya tidak diperkeras, ada yang dindingnya hanya terbuat dari pasangan batu bata biasa, ada yang ukurannya terlalu kecil, dan sebagainya.

Pada kondisi seperti ini, ada baiknya kita memertimbangkan penggunaan sewerage system untuk menggantikan jutaan septic tank yang ada sekarang. “Hanya kita yang masih menggunakan septic tank. Di kota-kota negara Asia lainnya sudah menggunakan sewerage system,” ujar Nugroho.

Sewerage System berfungsi untuk mengumpulkan air tinja dari rumah-rumah dan mengolahnya sampai mencapai baku mutu efluen yang ditetapkan. Dengan sistim ini, tidak diperlukan lagi septic tank sehingga pencemaran air tanah akan berkurang.
Agak ironis memang, mengingat sewerage system sebenarnya sudah mulai dibangun saat pemerintahan kolonial Belanda sejak tahun 1910 di Bandung, Cirebon, Solo, dan Yogyakarta. Pembangunannya terhenti justru ketika kita merdeka.

Pada akhir 80-an, kita baru memulainya lagi dan mengembangkannya di beberapa kota besar. Sekarang baru ada 10 kota (Balikpapan, Banjarmasin, Bandung, Cirebon, Jakarta, Medan, Prapat, Surakarta, Tangerang, dan Yogyakarta) yang mengembangkan sewerage system di daerahnya. Itu pun hanya mampu melayani 10% populasi kota.

Read More ..

Masyarakat Bantaran Kali, Bukan Hanya Itu

Banyak masyarakat yang mendirikan bangunan di bantaran kali. Selain membuat tempat tinggal, ada pula yang memanfaatkannya sebagai tempat parkir mobil atau tempat usaha seperti warung makan, misalnya.

Menjelang musim penghujan, pemerintah menghalau mereka untuk pindah. Beberapa bangunan dibongkar dengan alasan, merekalah yang menyebabkan banjir sering mampir di Jakarta.

Kemudian, bila melihat daerah Muara Baru yang sering kali digenangi air pasang laut atau rob, kenapa sih, mereka tidak mau pindah saja dari lokasi tersebut? Toh, mereka sering tergenang banjir yang datang tak tentu.

Kenapa banyak masyarakat yang masih mau tinggal di tempat yang dikatakan rawan banjir? Tinggal di daerah yang permukaan tanahnya lebih rendah dari daerah lainnya sehingga menjadi bulan-bulanan banjir.

Masyarakat yang tinggal di bantaran kali sering dituding sebagai penyebab banjir. Masyarakat yang tinggal di daerah yang permukaan tanahnya rendah, sering disuruh untuk pindah. Apakah pernyataan tersebut benar?

Kalau benar, berarti orang-orang Belanda tidak boleh tinggal di negaranya yang berada beberapa meter di bawah permukaan laut. Begitu juga dengan orang Bangladesh yang seluruh permukaan tanahnya adalah delta.

Orang Belanda dan Bangladesh tinggal di bantaran laut dan daerah delta, karena memang di sana ada keuntungan yang bisa diambil. Mereka membuat drainase yang memang mampu untuk menanggulangi masalah air.

Contohnya seperti Belanda, dengan kemampuan investasi dan teknologinya, mereka bisa membendung laut dengan kemungkinan tergenang 1/10.000. Tapi, bukan berarti Belanda tidak akan tergenang air. Selalu ada kemungkinan daerah mereka tergenang air, meski hanya 1 dibanding 10.000.

Dalam mengatasi banjir, orang-orang yang tinggal di bantaran kali, tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Mereka tinggal di sana karena memang tidak mampu membeli lahan untuk membangun rumah di Jakarta. Tanah kosong di Jakarta juga semakin lama semakin sedikit. Akhirnya, mereka memanfaatkan bantaran kali sebagai tempat tinggal atau usaha.

Ada baiknya kalau pemerintah membenahi saluran drainase yang ada. Bukan hanya merawat agar kapasitasnya tidak menurun karena sampah atau endapan lumpur, tapi juga disesuaikan dengan kondisi sekarang ini.

Misalnya saja, Jakarta memiliki Banjir Kanal Barat (BKB) sebagai tulang punggung badan air di Jakarta. Padahal BKB itu dirancang untuk mengatasi air pada tahun 1920-an. Kapasitas dan kemampuannya menampung air disesuikan dengan kondisi pada saat itu juga. Sehingga kalau belum di-upgrade kemampuannya, bukan mustahil BKB meluap karena kapasitas menampung airnya tidak sesuai dengan kondisi sekarang.

Akibatnya, banjir terjadi di mana-mana karena badan air (BKB atau sungai-sungai besar) kelebihan kapasitas. Hal tersebut juga diperparah dengan pola membuang air secepatnya ke badan air. Padahal, badan airnya sendiri sudah kelebihan beban.

Read More ..

About This Blog

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP