Tinja, Sampah, dan Banjir
Bukan hanya masalah drainase, ternyata Jakarta juga tidak memunyai layanan dan sanitasi kota yang baik. Akibatnya, Jakarta lebih cepat banjir dan berdampak lebih buruk. Hal tersebut diungkapkan Kasubdit Saluran Air dan Saluran Limbah Bappenas, Nugroho Tri Utomo, dalam sebuah talkshow media bertema “Bedah Banjir” beberapa waktu lalu.
Sanitasi buruk yang dimaksud Nugroho adalah tentang banyaknya MCK yang tidak berfungsi, efluen industri di kawasan perumahan, masyarakat yang BAB (buang air besar) sembarangan, pembuatan jamban yang asal-asalan, pembuangan liar lumpur tinja, dan masih banyaknya masyarakat yang mandi & cuci di sungai tercemar.
Sanitasi sendiri mencakup beberapa hal yang saling berhubungan. Di antaranya adalah pengelolaan limbah domestik, sampah domestik, dan drainase lokal (got dan saluran air).
Hal yang paling diperhatikan dalam pembangunan sanitasi yang baik adalah masalah pengelolaan limbah domestik (tinja) dan sampah. Kedua hal tersebutlah yang menjadi penyumbang banjir di Jakarta dan beberapa tempat di Indonesia.
Kenapa begitu? Limbah domestik atau tinja banyak dibuang masyarakat sembarangan. Kebanyakan dibuang langsung ke sungai atau selokan-selokan. Bersamaan dengan sampah, limbah domestik tersebut menjadi penyebab tidak lancarnya aliran air di selokan atau sungai.
Jika terjadi banjir, air-air sungai yang tercemar limbah domestik tersebut pun menjadi sarang penyakit yang biasa timbul di saat banjir.
Kemudian, karena adanya kandungan senyawa nutrien, limbah domestik ini pun akan memacu pertumbuhan ganggang. Akibatnya, fenomena yang disebut Eutrofikasi ini, membuat sungai atau waduk banyak ditumbuhi ganggang yang membuat aliran air tidak lancar.
Prinsip penanganan limbah dometik sendiri, menurut Nugroho, adalah ditampung (cubluk atau septic tank), dijauhkan dari aktivitas manusia, jauhkan dari pemukiman manusia (transportasi), dan diolah (IPAL).
Dari prinsip tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, terutama mengenai septic tank dan kebiasaan masyarakat membuang tinja langsung ke sungai.
Di Indonesia, septic tank digunakan sekitar 65% rumah yang ada di kawasan perkotaan. Tanah Jakarta dan sekitarnya saja, menyimpan lebih dari 1 juta septic tank. Hal yang mengkhawatirkan adalah belum adanya pengaturan septic tank di Indonesia.
Memang ada Standar Nasional Indonesia yang mengatur konstruksi septic tank. Tapi, belum ada aturan tentang jumlah septic tank per satuan luas kawasan, belum ada aturan yang mewajibkan pemilik rumah secara rutin melakukan penyedotan, dan belum ada pihak-pihak yang merasa berkepentingan memeriksa kondisi septic tank di wilayahnya.
Sering kali, masalah septic tank ini menjadi urusan pribadi pemilik rumah. Setiap orang dirumahnya mengurus sendiri-sendiri tempat pembuangan tinjanya. Padahal, bila ada septic tank yang bocor, resapannya bisa mencemari air tanah dan mengancam kesehatan masyarakat sekitar.
Sekarang ini, sekitar 60% rumah-rumah memiliki sumur dan septic tank yang jaraknya tidak sampai 10 meter. Celakanya, banyak pula sumur di suatu rumah yang letaknya ternyata dekat dengan septic tank rumah tetangganya. Penghuni rumah tersebut selama ini tidak sadar kalau air yang digunakan untuk sikat gigi ternyata tercemar air tinja dari septic tank tetangganya.
“Kalau dalam jangka waktu 3 tahun septic tank tidak penuh, jangan bangga dulu. Karena itu berarti septic tank Anda telah mencemari lingkungan,” jelas Nugroho.
Septic tank di kawasan padat penduduk tentunya berjumlah sangat banyak. Setiap rumah diwajibkan untuk membuat septic tank sendiri, tidak peduli luas lahannya 50 m2 atau 5000m2. Tanpa disadari, kewajiban tersebut ternyata membuat populasi septic tank semakin tinggi.
Akibatnya, kualitas air tanah menurun karena banyaknya septic tank yang tidak memenuhi standar teknis yang ditetapkan. Ada yang mirip cubluk karena dasarnya tidak diperkeras, ada yang dindingnya hanya terbuat dari pasangan batu bata biasa, ada yang ukurannya terlalu kecil, dan sebagainya.
Pada kondisi seperti ini, ada baiknya kita memertimbangkan penggunaan sewerage system untuk menggantikan jutaan septic tank yang ada sekarang. “Hanya kita yang masih menggunakan septic tank. Di kota-kota negara Asia lainnya sudah menggunakan sewerage system,” ujar Nugroho.
Sewerage System berfungsi untuk mengumpulkan air tinja dari rumah-rumah dan mengolahnya sampai mencapai baku mutu efluen yang ditetapkan. Dengan sistim ini, tidak diperlukan lagi septic tank sehingga pencemaran air tanah akan berkurang.
Agak ironis memang, mengingat sewerage system sebenarnya sudah mulai dibangun saat pemerintahan kolonial Belanda sejak tahun 1910 di Bandung, Cirebon, Solo, dan Yogyakarta. Pembangunannya terhenti justru ketika kita merdeka.
Pada akhir 80-an, kita baru memulainya lagi dan mengembangkannya di beberapa kota besar. Sekarang baru ada 10 kota (Balikpapan, Banjarmasin, Bandung, Cirebon, Jakarta, Medan, Prapat, Surakarta, Tangerang, dan Yogyakarta) yang mengembangkan sewerage system di daerahnya. Itu pun hanya mampu melayani 10% populasi kota.