Kampanye Damai, Bukan Kampanye Berdarah

Tidak ada kerusuhan yang tidak membawa malapetaka. Setiap kerusuhan terjadi, di situ ada etnosentris, ego, dan fanatisme berlebihan yang bersifat otoriterian dan destruktif.

Menghadapi musim kampanye terbuka, masyarakat Indonesia diharapkan juga bisa terbuka dalam pandangan, pikiran, dan kenyataan yang akan terjadi saat Pemilu 2009. Pesta demokrasi yang akan digelar mulai April nanti diharapkan tidak ada kerusuhan, gesekan massa, dan kecurangan.

Bila sebelumnya banyak terjadi gesekan-gesekan di masyarakat seperti saat pemilihan kepala daerah, hal itu bukanlah perumpamaan yang harus diikuti. Menggangu kelancaran Pemilu adalah pelanggaran yang tidak bisa ditolerir oleh pemerintah.

Pemerintah, Komisi Pemilihan Umum, dan Partai Politik sendiri sudah sepakat untuk menjalankan kampanye Pemilu dengan damai pada pertengahan Maret lalu. Semua komponen tersebut sudah berikrar untuk melaksanakan Pemilu yang damai dan jauh dari anarkisme serta vandalisme.

Tapi, bagaimana dengan masyarakat? Apakah mereka sudah siap menerima keyakinan politik selain partai politik yang dianutnya? Apakah mereka sudah cerdas untuk tidak ditunggangi dan diperalat hanya sebagai corong dalam mencari popularitas para peserta Pemilu?

Biar bagaimana pun, masyarakatlah yang paling ditekan dalam pelaksanaan Pemilu nanti. Karena gesekan yang paling dilihat dan terbuka memang ada di kalangan grass root. Masyarakat akan menjadi korban dan merugi. Masyarakat harus sadar kalau pemerintahan itu ada karena mereka, Pemilu bisa berlangsung karena mereka dan untuk kepentingan mereka pula.

Euporia Pemilu selayaknya didengungkan dan dilaksanakan sewajarnya, tetap mematuhi koridor dan peraturan yang telah disepakati bersama. Bukan dengan saling mengkhianati, menutup mata, dan subjektif.

Apa yang terjadi saat penandatanganan kesepakatan kampanye damai beberapa waktu lalu, seharusnya tidak dibiarkan. Masyarakat pendukung parpol tidak selayaknya naik ke atas panggung sambil mengibarkan bendera dan yel-yel ketika pimpinan parpol menandatangani kesepakatan damai. Masyarakat tidak bisa mengartikan damai dengan bertindak semaunya, tidak menghormati orang lain, dan berbuat onar.

Kenapa mereka (orang-orang yang naik ke atas panggung) tidak bisa menghormati pimpinan parpol yang akan membuat kesepakatan? Bukankah tindakan ini bisa memicu masyarakat pendukung parpol lainnya untuk berbuat hal yang sama? Kalau itu terjadi, panggung Deklarasi Pemilu Damai bisa menjadi ring tinju yang tidak hanya diisi oleh 2 orang petinju, tapi semua orang pun akan bertinju.

Memang wajar adanya bila hal demikian terjadi di era demokrasi ketika dinamika berpolitik masyarakat sudah semakin tinggi. Tapi, embrio yang tidak berpihak pada kedamaian tidak bisa dibiarkan terus hidup karena dapat berkembang menjadi kebiasaan yang normatif.

Seperti saat musim kompetisi sepak bola yang banyak diwarnai tawuran, pengrusakan, dan baku hantam antar suporter. Masyarakat sudah menganggap biasa kerusuhan yang ditimbulkan suporter bola. Kerusuhan dalam sebuah pertandingan bola dianggap sebuah kewajaran.

Padahal, kebiasaan tersebut menggangu ketertiban dan ketentraman masyarakat lainnya. Melanggar hak masyarakat lainnya dan mengancam eksistensi dari klub dan dunia sepak bola itu sendiri.

Sama halnya dengan Pemilu, bila hajat demokrasi ini tidak berjalan lancar, dan rusuh, maka kelangsungan masyarakat dan pemerintah berada di ujung tanduk. Indonesia bisa tidak berdaulat dan akan dikuasai pihak asing sehingga masyarakatlah yang akan merugi.

Oleh karena itu, sejalan dengan deklarasi kampanye damai yang dibuat pimpinan parpol dan KPU, tidak ada salahnya bila masyarakat menahan diri untuk tidak saling menghujat, menghina, mengolok-ngolok, memancing emosi, dan berbuat anarkis dalam berkampanye.

Marilah kita sukseskan Pemilu 2009 tanpa kerusuhan, kecurangan, dan tidak membuat “kampanye damai” menjadi “kampanye berdarah”.

Artikel Berkaitan

About This Blog

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP