Mulailah dengan yang Palsu
Apa yang disajikan pertama kali ketika Anda memesan makanan di restoran? Kebanyakan, hanya buku menu yang dilengkapi foto makanan. Foto sengaja disiapkan agar Anda bisa membayangkan menu pesanan. Tapi, foto tidak memiliki dimensi dan porsi sebenarnya.
Berbeda dengan replika makanan (food replica) yang memiliki dimensi, ukuran porsi, dan bentuk sesuai aslinya. Dengan begitu, kita bisa membayangkan utuh apa yang akan kita pesan, meski nama menunya sangat asing.
Replika makanan ini memang belum populer di Indonesia, tapi restoran atau tempat makan berskala besar, sudah banyak yang menggunakannya. Sebut saja tempat makan Pasta de Waraku di Gran Indonesia yang memajang puluhan menu replikanya.
Selain bisa tahan sampai 8 tahun, replika makanan ini juga bisa menghemat biaya dan menarik pengunjung. Pengusaha restoran tidak perlu mengeluarkan ongkos promosi dengan membuat display food setiap hari. “Meski begitu, replika ini sebenarnya bukan untuk display food restoran, tapi untuk promo seperti di pameran,” kata Stefanus Susanto yang mulai menggeluti usaha ini setahun lalu.
Karena bentuk, dimensi, dan ukurannya yang seperti asli, banyak orang akan terkecoh dengan replika ini. Bila dibandingkan dengan yang asli, kita pasti akan sulit membedakannya. “Satu hal yang bisa membedakan adalah baunya. Dari jauh, kita sulit membedakan, tapi kalau sudah dekat, kita akan tahu dari baunya,” jelas Stefanus yang memiliki workshop di daerah Pesing, Jakarta Barat.
Berbagai menu makanan bisa dibuat Stefanus lengkap dengan berbagai campuran di dalamnya. Dari koleksi dan pesanan yang diterimanya, terdapat beberapa menu masakan khas Indonesia, makanan China dan Jepang, serta berbagai menu minuman.
Semuanya dibuat dengan detil yang lengkap. Mulai dari warna sampai tekstur yang timbul dipermukaan replika. Uniknya, Stefanus membuat setiap replika secara terpisah-pisah. Misalnya, replika nasi goreng, dia akan membuat nasi, suwiran daging, telor goreng, tomat, selada, bawang dan lainnya secara terpisah. “Nasinya saja, saya buat per butir. Begitu juga dengan yang lainnya. Jadi, campuran nasi goreng tersebut bisa dipisah-pisah,” ungkap Stefanus yang juga menjadi pengusaha bahan pembuat kue.
Replika ini sebenarnya tidak hanya untuk makanan, tapi bisa pula untuk benda lainnya sehingga fungsinya bisa berbeda-beda. Misalnya, bisa pula dibuat anatomi tubuh atau replika buah dan binatang yang bisa membantu dunia pendidikan. Bahkan bisa pula untuk gift atau kado pernikahan.
Di beberapa negara seperti China dan Korea, replika makanan ini sudah lazim digunakan di restoran-restoran. Bahkan, beberapa maskapai penerbangan dan perusahaan kereta api luar negeri sudah menggunakannya di kelas bisnis.
“Replika ini akan memudahkan mereka dalam memilih makanan, apalagi buat orang asing. Mereka jadi tidak salah pesan karena tidak tahu bentuknya,” kata Stefanus yang memiliki toko peralatan pembuat kue bernama Guten Braun di daerah Glodok ini.
Dimulai dari Jepang
Ide pembuatan replika makanan ini dimulai ketika Stefanus pergi ke Jepang. Waktu itu, temannya memesan replika makanan untuk restorannya. Tapi, karena takut tidak sesuai dengan harapan temannya, dia pun urung membantu.
“Soalnya, teman saya tidak bisa melihat barangnya. Kalau tidak sesuai, saya tidak mau disalahkan. Apalagi itu barang impor yang tidak bisa dikembalikan. Harganya pun 3X lipat dari replika makanan yang saya buat,” ujar Stefanus yang pernah mendapat rekor MURI untuk kertas kue yang mampu menahan panas oven.
Setelah mendapat ide, Stefanus mendalami pembuatan replika makanan di Korea selama 2 tahun dan baru setahun lalu karyanya dikomersilkan.
Sekarang, dengan dibantu 3 karyawannya, Stefanus sudah mendapat pesanan dari beberapa tempat makan dan kafe ternama di Jakarta. Sebut saja JCO Donuts dan BreadTalk. Terakhir, dia sedang mengerjakan 50 jenis pesanan dari Departemen Kelautan untuk digunakan dalam pameran. “Saya diminta membuat replika berbagai ikan dan hasil laut di Indonesia,” ucapnya.
Sayangnya, replika buatan Stefanus dengan label Arts Display Food ini, belum bisa diproduksi secara massal. Karena pembuatnya sendiri menganggapnya sebagai kerjaan seni dan dibuat handmade. Apalagi kalau masalah harga.
“Saya ingin orang yang memesan menghargai karya seni. Seperti halnya lukisan, harganya tergantung bagaimana apresiasi seni pembelinya. Tidak ada tawar menawar dalam membeli lukisan,” ungkap Stefanus yang bercita-cita membuat galeri khusus replika makanan.
Meski begitu, Stefanus mengatakan kalau harga replika makanannya itu tergantung dari ukuran dan tingkat kerumitan. Dia mencontohkan replika bebek Peking yang dilego seharga Rp 1,25 juta. “Makin besar ukuran dan tingkat kerumitan, harganya bisa menjadi lebih mahal,” kata Stefanus yang akan mengikuti kontes pembuatan replika makanan tingkat internasional di Jepang dengan membuat nasi tumpeng.
Cara Membuat
Replika makanan ini dimulai dengan pembuatan cetakan atau mold. Pengerjaannya tentu dengan mencontoh makanan asli atau fotonya. “Saya lebih menyarankan menggunakan makanan asli agar warna dan teksturnya bisa sama,” ujarnya.
Bahan dasar yang digunakan adalah plastik jelly, tapi banyak orang juga menyebutnya PVC atau silikon. Dalam keadaan cair, bahan dasar tersebut dituangkan dalam mold lalu kemudian dikeringkan dalam oven.
Dalam pembuatannya, dipertimbangkan pula jenis makanan yang akan dibuat. “Disesuaikan juga mengenai komposisi, tekstur, dan jenis makanan. Apa makanan tersebut keras atau lunak? Semua disesuaikan dengan aslinya,” jelas Stefanus.
Setelah kering, replika makanan yang masih berwarna putih tersebut, diwarnai sesuai aslinya dengan cat minyak. Bila replikanya satu porsi menu, maka akan ditambahkan pelengkapnya yang dibuat terpisah.
Pembuatan replika ini bisa memakan waktu 1 – 2 minggu, tergantung tingkat kesulitan. Dari proses pembuatan tersebut, paling lama saat membuat mold dan finishing.
Bisnis replika makanan ini, menurut Stefanus, memiliki prospek yang cukup bagus. Apalagi sekarang banyak berkembang restoran-restoran. Ke depannya, Stefanus akan membuat replika makanan yang tidak hanya sama dalam bentuk, tapi juga baunya.