Semangatnya Sering Menjadi Cahaya
Kekurangan pada dirinya tidak dijadikan penghalang untuk bekerja dan aktif dalam organisasi masyarakat. Pandangan hidupnya yang tidak mau kalah dengan orang normal, menjadikan dirinya Ketua Pertuni Jakarta Barat.
Tuna netra adalah istilah umum yang digunakan untuk seseorang yang tidak dapat melihat. Dalam keterbatasan fisik, tak sedikit penyandang tuna netra yang memiliki kemampuan luar biasa. Misalnya, di bidang ilmu pengetahuan maupun organisasi.
Bahkan, seorang tuna netra sekarang dapat mengemudikan pesawat, bermain komputer, membuat komunitas, atau melakukan kegiatan seperti orang pada umumnya. Seperti yang dilakukan Dahlan dengan Persatuan Tuna Netra Indonesia.
Bagi Sutejo M.Dahlan atau akrab dipanggil Dahlan yang tidak bisa melihat sejak berumur 5 tahun ini, hidup adalah pembelajaran tanpa henti. Setiap hari, setiap saat, dan setiap waktu, jika ditelaah lebih jauh, selalu menjadi momen pembelajaran. Baik itu berupa halangan, rintangan, tantangan, atau berbagai kejadian apa pun yang kita temui.
”Jika bisa disikapi dengan bijak, maka selalu ada sisi positif yang bisa diambil sebagai proses belajar,” kata ayah dari empat orang anak ini.
Maka, tak salah jika orang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Namun, semua itu harus dikembalikan pada individu yang menjalaninya. Jika tak ada proses evaluasi dan tindakan perbaikan, pembelajaran yang didapat pun tak akan maksimal.
”Hadirnya pengalaman baru akan bernilai jika kita bisa memaknainya dengan sudut pandang dan mindset positif,” urainya dengan mantap.
Pendidikan dan Masa Kecil
Anak ke tiga dari enam bersaudara ini, adalah satu-satunya yang mengalami kebutaan di antara semua saudaranya. Pada awalnya, gejala yang dialami karena demam, panas, dan suhu tubuh yang tidak menentu hingga akhirnya Dahlan mengalami kebutaan sampai sekarang.
Walaupun orang tuanya sudah berobat ke berbagai rumah sakit, tapi orang tua Dahlan tetap tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah kebutaan pada mata anaknya. “Saya harus menghadapi kenyataan kalau mata saya tidak bisa melihat lagi sejak saat itu,” kenang Dahlan dengan mimik sedih.
Ketika kecil, dalam pergaulan sehari-hari bersama teman sebayanya, kebutaan tidak menjadi penghalang. Dahlan yang dipanggil Tejo sewaktu kecil ini masih bisa bermain bola, bermain jangkring, atau memancing ikan seperti anak lainnya. Dirinya sendiri tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Singkatnya, sosok kita ini tidak menerima perlakuan diskriminatif dari orang-orang di sekitarnya.
Anak dari Safijan dan Dzasiah ini pun cukup disegani teman-temannya. Hal itu karena bapaknya adalah seseorang yang memiliki kelebihan dalam mengobati orang-orang sakit di kampungnya.
Memasuki usia 17 tahun, sosok yang lahir pada tanggal 23 September 1957 ini mulai masuk sekolah di SD P3KT ( Pusat Pendidikan dan Pengajaran Kegunaan Tuna Netra ) Kudus pada tahun 1973-1974. Di sekolah ini, Dahlan mendapat pendidikan yang hanya dikhususkan bagi tuna netra.
Baginya, mendapatkan ilmu adalah sesuatu yang harus dilakukan. Hingga akhirnya pada tahun 1976, sosok ini melanjutkan sekolah di SLB-A (Sekolah Luar Biasa Bagian A) khusus tuna netra dan dilanjutkan pada tahun 1980 mengikuti kursus pijat di Pemalang sebagai bekal hidup.
Merantau ke Jakarta
Selepas dari SLB-A pada tahun 1976, dengan bekal ilmu pijat, sosok yang bertinggi badan 160 cm dengan berat 58 kg ini mencoba peruntungan dan mengadu nasib ke Jakarta. Dahlan berangkat ke Jakarta dengan menumpang mobil secara estafet mulai dari tempat asalnya hingga Cirebon yang kemudian dilanjutkan sampai Terminal Pulo Gadung, Jakarta Timur.
Setelah sampai di Jakarta, ada perasaan ragu di hatinya karena memang Dahlan berjalan tanpa arah dan tujuan yang jelas. Hingga akhirnya memutuskan untuk pergi ke Tanah Abang. “Itu juga kebetulan dengar omongan orang tentang daerah tersebut,” ucap Dahlan.
Sifatnya yang tak kenal lelah dan menyerah, akhirnya mengantarkan Dahlan pada sebuah kehidupan seperti sekarang. Menjalani profesi tukang pijat yang memang hanya itulah keahlian yang dimilikinya.
Sebagai manusia biasa, Dahlan yang memiliki hobi menyanyi di kamar mandi dan olah raga loncat jauh serta tolak peluru ini juga memiliki keinginan untuk berumah tangga. Akhirnya, dengan karunia Tuhan, Dahlan menikah dengan Sumiyati (wanita tuna netra yang merupakan temannya sewaktu di SLBA) sekitar 1979. Sekarang ini, keduanya telah dikarunia empat orang anak dan lengkap sudah apa yang dicita-citakannya.
Setelah menikah, pada tahun 1983 dengan bantuan seorang penjahit pakaian, Dahlan pun mulai membuka tempat pijat pertamanya di Pos Pengumben, Jakarta Barat.
Organisasi dan Panti Pijat
Sifatnya yang tegas, jujur, dan memiliki kelebihan di antara teman-temannya sesama tuna netra, Dahlan akhirnya ditasbihkan menjadi Ketua Pertuni Jakarta Barat pada 27 Juli 2008 kemarin. Jabatan tersebut akan dipegangnya selama lima tahun ke depan.
Menjadi Ketua Pertuni bukanlah tugas yang mudah untuk dijalani. Dengan pengalamannya selama di Jakarta, Dahlan mau mengemban tugas yang diamanatkan teman-temannya.
Baginya, bergelut dalam organisasi bukanlah sesuatu yang baru. Sebelumnya, dia juga pernah mengemban tugas sebagai Ketua Koperasi DPW Ikatan Tuna Netra Muslim DKI Jakarta, Bendahara Koperasi Himpunan Kesejahteraan Tuna Netra Alumni Kudus (Himtak), dan Ketua merankap bendahara Himpunan Kesehteraan Tuna Netra Alumni SLBA Solo.
Dalam menjalani jabatan di atas, Dahlan tidak pernah merasa bosan atau cape. Baginya, tugas yang didapat sekarang adalah amanah yang harus dijaga dan dijalankan sebaik mungkin agar hasilnya maksimal. “Kalo dijalanin setengah-setengah, hasilnya pun bisa kurang maksimal,” ungkapnya.
Dahlan sendiri mengaku sudah menjalani usaha pijatnya selama 20 tahunan. Dulu, ia pernah menjadi tukang pijat keliling di daerah Palmerah, Jakarta Barat, sebelum akhirnya memutuskan menetap dan membuka panti pijat Jaga Sehat di Jl. Raya Joglo RTO7/RW 01 No 42.
Dahlan adalah salah satu dari sekian banyak tukang pijat tuna netra yang memiliki banyak pelanggan hingga saat ini. Dia benar-benar menunjukkan bahwa sukses memang hak siapa saja dan merupakan contoh nyata orang yang bisa "melihat" dengan tekad dan hati.
Halangan dan tantangan dilihatnya sebagai proses pembelajaran diri. Kekurangan yang dimiliki malah menjadikannya manusia penuh semangat dan tak pernah putus asa. Itulah Dahlan, semangatnya sering menjadi cahaya dalam hidup orang-orang tuna netra lainnya.