Ir. Sukardi - Kepala Seksi Pengelolaan Hutan Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta
Hutan Mangrove Untuk Konservasi Bukan Tambak
Jakarta, kota metropolitan yang letaknya di bibir pantai utara Jawa masih menyimpan eksotika alam berupa kawasan mangrove atau bakau seperti hutan lindung Angke Kapuk, Suaka Marga Satwa, Taman Wisata Alam Kamal Muara dan lahan pembibitan mangrove.
Sekalipun luas area mangrove di Jakarta tidak terlalu besar, keberadaannya sangat strategis mengingat fungsinya sebagai pengendali abrasi pantai, penahan tiupan angin kencang dan terjangan gelombang air laut dan lain sebagainya.
Kini, dengan sisa lahan sekitar 327,7 hektare, Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta terus meningkatkan berbagai upaya di antaranya menjadikan kawasan mangrove sebagai ekowisata alam bagi masyarakat.
Itulah yang menjadi tanggung jawab Seksi Pengolahan Hutan Dinas Pertanian dan Kehutanan dalam merealisasikan kawasan mangrove di Jakarta ke depannya menjadi kawasan ekowisata yang bermanfaat bagi masyarakat.
Untuk mengetahui model ekowisata seperti apa, kepada Yogi Gustaman dari Adinfo, Kepala Seksi Pengelolaan Hutan Ir. Sukardi memaparkan kondisi dan potensi hutan mangrove nantinya. Wawancara bertempat di kantornya Senin (6/7) lalu. Berikut petikannya.
Ada berapa jenis hutan mangrove di Jakarta?
Pada dasarnya ada tiga jenis hutan menurut fungsinya yaitu produksi, lindung, dan konservasi. Yang ada di Jakarta hanya hutan lindung dan konservasi, termasuk hutan mangrove atau biasa kita kenal tanaman bakau. Baik hutan lindung dan konservasi dikelola oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta.
Hutan lindung yang kita miliki adalah hutan lindung Angke Kapuk. Sedangkan hutan konservasi yang kita kelola adalah Suaka Margasatwa di Pantai Indah Kapuk, Taman Wisata Alam di Kamal Muara. Kawasan konservasi lainnya adalah Hutan Mangrove Tol Sedyatmo. Untuk Suaka Margasatwa dan Taman Wisata Alam dikelola oleh BKSDA DKI Jakarta. Sedangkan hutan lindung dan hutan mangrove Tol Sedyatmo dikelola oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta.
Bagaimana konsep hutan mangrove ke depannya?
Sejak 2007 kita mengawali ekowisata dengan mewujudkan hutan mangrove Tol Sedyatmo. Selama dua periode ini beberapa infrastruktur pendukung sudah ada seperti gapura pintu masuk, conblok sebagai jalan kontrol, dan lain sebagainya.
Ke depan kita ingin menjadikan kawasan mangrove yang kita miliki berkonsep ekowisata alam. Sebagai contoh kita sudah menerapkan ekowisata di hutan mangrove Tol Sedyatmo. Di sini juga akan diwujudkan sebagai Mangrove Education Center.
Tata kelolanya dipegang siapa?
Untuk pengelolaannya, Dinas Pertanian dan Kehutanan bekerjasama dengan LSM Gajah Sumatera yang memiliki konsentrasi terhadap pengelolaan hutan. Bentuk kerjasamanya kita akan saling mengisi satu sama lain dalam urusan perhutanan seperti penanaman, pendidikan dan sebagainya. Jadi urusan-urusan yang tidak bisa sepenuhnya ditangani oleh dinas akan mereka pegang seperti memberikan pendidikan apa itu hutan mangrove, sosialisasi kepada pengunjung seberapa penting hutan mangrove dan sebagainya.
Fungsi hutan mangrove sejauh ini sebagai apa?
Sampai sekarang fokus hutan mangrove kita masih sebatas konservasi. Seperti pantauan di lapangan, masih banyak lahan kosong yang belum ditanami mangrove. Tidak seperti hutan mangrove di Kalimantan yang sudah menjadi hutan produksi di mana hasil hutannya buat ekspor ke luar negeri. Kondisi mangrove di Jakarta masih jauh dari harapan sebagai hutan produksi.
Karena itu dalam mendukung kawasan konservasi mangrove peran dan tanggung jawab sosial perusahaan baik BUMN, swasta, institusi lain dan sebagainya menjadi sangat berarti. Perlu banyak kemitraan dalam program konservasi mangrove ini. Tak dipungkiri itu semua membutuhkan dana yang tidak sedikit. Tengok saja masih banyak lahan kosong di sekitar Elang Laut yang belum ditanami. Karena kondisinya tergenang air dan dalam diperlukan pengurukan. Hal ini dimanfaatkan penambak liar untuk membuka tambak di kawasan tersebut.
Sejak kapan tambak liar itu muncul?
Munculnya tambak liar di kawasan hutan ini dimulai sejak 1998. Mereka belum menyadari kalau tempat itu di bawah pengelolaan Dinas Pertanian dan Kehutanan. Mereka anggap ini sebagai tanah tak bertuan. Makanya mereka buka tambak di sini. Tapi mereka tahu kalau apa yang mereka perbuat itu ilegal. Meski sudah ada papan peringatan mereka tetap saja membuka tambak komersil.
Secara teknis memang ada hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat yang disebut social forestry. Tapi itupun tetap ada koordinasinya antara dinas dan masyarakat. Tidak seperti para penambak liar yang seenaknya memasuki lahan hutan kemudian dikonversi menjadi tambak ikan atau lainnya. Itu namanya liar.
Langkah apa yang dilakukan dalam memberantas penambak liar?
Kita panggil mereka datang ke kantor. Sebanyak 15 penambak hadir dan kami berikan mereka pengarahan soal status guna lahan hutan mangrove. Mereka menyadari perbuatannya liar tapi mereka tetap meneruskan. Bahkan ketika saya ke lapangan pernah ada nada mengancam yang saya dengar, “Awas Pak Sukardi kalau ke lapangan.”
Kalau tidak bisa, dalam waktu dekat kita akan melakukan operasi besar-besaran dengan menurunkan Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat atau SPORCE. Kalau di tingkat kepolisian, SPORCE setingkat dengan Brimob (Brigadir Mobile). Kami juga bekerjasama dengan pihak kepolisian setempat.
Di samping itu, yang terpenting ketegasan polisi hutan. Kami seperti bekerja sendiri. Pasalnya, jumlah polisi hutan yang ada tidak maksimal. Meskipun sedikit kalau pemantauannya diperaktif akan membuat mereka segan membuka lahan kembali untuk tambak. Kalaupun ada penjaga di tiap-tiap pos mereka hanyalah tenaga honorer. Keberadaan mereka sebatas menanam, merawat dan mengawasi tanaman mangrove, bukan menjaga pengamanan.
Adakah konsep hutan yang dipadukan dengan penanaman ikan?
Konsep seperti itu ada. Namanya mina hutan yaitu ikan dan hutan. Tapi porsinya harus disesuaikan di mana 80 persen untuk lahan hutan dan 20 persen untuk ikan. Konsep hutan seperti ini tetap berada dalam kontrol dan pengawasan dinas. Kalau tidak diawasi petani tambak akan memperluas hutan untuk tambak.
Mina hutan itu dimungkinkan jika kawasan hutan mangrovenya sudah rimbun dan banyak. Model seperti ini sudah ada di Belanakan, Subang, dekat Indramayu. Dan kondisi mangrove di Jakarta belum masuk kategori mina hutan. Tapi upaya yang dilakukan dalam waktu dekat adalah pembangunan infrastruktur untuk menunjang ekowisata hutan mangrove ini.