Perspektif Keuangan Keluarga

Dalam sebuah keluarga, perlukah suami dan istri bekerja? Bila memang harus, akankah perekonomian keluarga menjadi lebih baik? Atau malah sama saja?



Ada pepatah China yang mengatakan, “besar ular, besar pula liangnya”, artinya “besar pendapatan, besar pula pengeluarannya”. (The Best of Chinese Saying, Leman).

Hal inilah yang harus dihindari kalau Anda ingin hidup sukses (secara finansial). Hidup sukses seperti ini bukan tergantung pada pendapatan, melainkan pada besar kecilnya jumlah yang dapat Anda sisihkan (ditabung).

Sekarang, tidak sedikit keluarga yang menghadapi masalah perekonomian cukup pelik. Mulai dari tagihan kartu kredit yang jumlahnya bukan malah sedikit sampai ketakutan biaya pendidikan anak di masa mendatang.

Banyak keluarga, terutama yang hidup diperkotaan, juga dihadapkan pada besarnya tuntutan hidup di jaman yang serba konsumtif ini. Mereka sering tidak bisa mengelak dorongan gaya hidup tidak hemat yang banyak ditebar media massa. Sehingga bagi yang tidak bisa menahan diri, bisa terbawa arus dan terjerembab dalam kebangkrutan ekonomi keluarga.

Dalam mengatasi masalah tersebut, ada yang berpikir untuk memaksimalkan usaha pencarian pendapatan keluarga. Istri yang bagi sebagian orang dianggap harus mengurus rumah tangga dan anak, difungsikan mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan keluarga.

Namun, bila tidak dipikirkan dengan matang, usaha tersebut akan sia-sia. Malah bisa lebih merugikan. Alih-alih meraih keberhasilan ekonomi keluarga, malah rumah tangga dan anak menjadi tak terurus.

Hidup Konsumtif
Ketidakdisiplinan menjalankan kebijakan ekonomi keluarga dan kebudayaan hidup boros adalah pangkal dari masalah keuangan keluarga. Penyebabnya bermacam-macam. Misalnya, iming-iming diskon di berbagai pusat perbelanjaan, ketidakberdayaan dalam menahan keinginan berbelanja, atau terbawa gaya hidup bertransaksi menggunakan kartu kredit.

Banyak pula orang yang terjebak dalam kemudahan transaksi usaha dengan skema kredit. Cara pembayaran yang bisa dicicil dalam beberapa periode, membuat orang tergiur. Buat mereka yang tersihir cara tersebut, sering kali logikanya mandek. Ambil barang dulu, bayarnya dipikir belakangan.

Cara berpikir seperti itu berbahaya dan cenderung mendukung gaya hidup tidak hemat. Segala kemudahan kredit, diibaratkan perangkap yang membuat “gunung” hutang kita semakin tinggi. Bahkan bisa membuat neraca keuangan keluarga menjadi tidak seimbang. Pengeluaran lebih tinggi karena harus menutupi hutang.

Selain menghindari gaya hidup konsumtif, ada beberapa alternatif pemikiran yang bisa diterapkan agar ekonomi keluarga menjadi lebih sehat. Pertama, kita harus mengetahui berapa besar kekayaan bersih yang dimiliki, termasuk jumlah hutang yang harus ditanggung.

Dari jumlah kekayaan bersih tersebut, kita baru bisa menetapkan tujuan dan pencapaian yang akan kita tuju dalam jangka waktu tertentu. Bahkan dari situ, kita pun bisa menabung dan memersiapkan dana untuk hari tua nanti.

Perihal tabungan, ada juga keluarga yang tidak memilikinya. Mereka beranggapan bahwa dengan pendapatannya, tidak mungkin bisa menabung. Dengan berbagai alasan, mereka pun memengaruhi diri sendiri agar tidak bisa menabung.

Padahal, kalau mau mengikuti rumusan (pendapatan = 20% tabungan + 80% pengeluaran), kita pasti akan memiliki uang lebih di tabungan. Intinya, sisihkan dulu uang untuk menabung, baru berpikir berbelanja kebutuhan keluarga dengan alokasi dana setelah dipotong tabungan. Lakukan hal tersebut dengan disiplin.

Kedua, dalam sebuah keluarga, kita pun harus bisa merancang anggaran belanja keluarga. Besaran pengeluaran dan pendapat harus dihitung dengan cermat. Setiap langkah yang ditetapkan dalam anggaran tersebut, nantinya akan berlanjut pada hitungan belanja di masa mendatang.

Contohnya, memisahkan pendapatan kita dalam amplop-amplop tertentu untuk masing-masing pos pengeluaran keluarga. Dengan begitu, anggaran keluarga teralokasi dengan benar.

Ketiga, kalau memang memungkinkan, tidak ada salahnya mulai menginvestasikan kekayaan kita. Terdapat banyak cara berinvestasi yang ditawarkan sekarang ini. Tapi tentunya, kita pun harus memiliki perencanaan yang matang agar cash flow keluarga tidak terganggu.

Keempat, adalah proteksi keluarga. Asuransi menurut beberapa pakar perencana keuangan sangat dibutuhkan buat mereka yang sudah berkeluarga. Melihat tingkat kebutuhannya, setiap orang tidak akan pernah tahu apakah membutuhkan asuransi atau tidak. Pastinya, dengan memiliki asuransi, berarti kita sudah melindungi tanggungan keluarga.

Membuat perencanaan keuangan keluarga yang baik tentunya tidak sampai di situ. Situasi, kondisi, dan pengaruh faktor eksternal keluarga dapat memengaruhi rencana perhitungan finansial keluarga yang sudah dipikirkan masak-masak. Sehingga rencana tersebut disarankan bersifat fleksibel mengikuti fluktuasi keuangan keluarga.

Bahkan, rencana bisa saja tinggal sebuah rencana bila Tuhan menghendaki lain. Sesungguhnya, bukan hanya sekali kita membuat perencanaan keuangan keluarga. Pasti ada perubahan yang tidak kita sadari dan penyesuaian di dalamnya.

Artikel Berkaitan

About This Blog

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP