Kasus Buaya Mati
Tanya :
Saya baru lulus tahun lalu dan mulai kerja juga tahun lalu. Saya lulus dari jurusan media dan komunikasi di Australia yang akhirnya nyasar bekerja di bagian nasional sales sebuah bank. Sering terjadi konflik antara saya dan atasan. Kalau saya salah sedikit atau melawan sedikit, beritanya pasti masuk ke ruangan yang mahabesar (big boss). Jadi, dibanding staf lain yang setingkat di divisi saya, saya ini yang paling kelihatan dalam istilahnya, sok sibuk, sok kerja. Padahal gak ada kerjaan. Tapi si atasan ini tahu lho, saya gak ada kerjaan dan sering dibilang kerjanya “main” terus. I did that because he never gave me assignment to do.
Di lain sisi, saya ini ingin banget masuk ke salah satu projek yang ada. Tapi, kalau dipikir-pikir, kemampuan saya tidak seperti si A yang lulus IT jadi otaknya tokcer, atau si B yang dari sarjana komunikasi lokal, tapi IQ dan EQ-nya memang tinggi.
Ditempatkan di mana aja hayuk jalan. Atau kalaupun saya masuk ke project itu, lebih pada “Pembantu Umum”, bantu sini bantu sana, itupun kalau diminta. Kalau ditanya berkaitan dengan projek, saya jawab sesuai kenyataan, atasan saya tidak percaya (intinya dia pernah mengatakan pada my colleague kalau dia tidak percaya sama saya).
Maaf, jadi cerita panjang lebar. Intinya, sekarang saya lagi stress sendiri, entah mau apa di kantor ini. Projek saya sendiri adalah yang terhitung dalam istilah “sampingan”. Jadi kalau dibilang tanpa sayapun, orang lain bisa mengerjakan karena pekerjaannya lebih pada sekretaris (padahal sudah ada sekretaris).
Nah, setelah saya membaca artikel ”Bagaimana Buaya Mati”. Saya ngeh, apa saya terlalu nyantai ngadepin atasan saya yang ambisius ini? (karena kabag yang lain mengatakan sesuatu pada saya, “selama gaji tidak berkurang, ya udah diamin aja”). Hanya, ada rasa guilty dalam diri saya sendiri.
Bagaimana menurut bapak? Walaupun saya sebel, saya berusaha diam karena saya bukan jenis orang yang biasa “meniup pluit” pada atasan. Kalau lagi ada masalah, biasanya saya diam, menyingkir dan kalau mau speak out, colleague saya yang mewakilkan (tanpa diminta). Bapak, maaf jadi panjang lebar. Hanya saja saya jadi merasa seperti Si Buaya.
Agnes
Kembangan
Jawab :
Mbak Agnes, maaf kalau namanya saya ganti karena nama Anda bagus sekali dan saya yakin orangnya juga oke.
Begini (jangan marah kalau saya membayangkan Agnes Monica), segala hal di dunia ini ada maknanya. Anda punya banyak waktu, makanya Anda membaca tulisan-tulisan di majalah. Orang lain, termasuk atasan Anda, mungkin tidak tahu cerita Si Buaya. Jadi, biarkan saja nanti dia yang jadi ”buaya”.
Mbak Agnes, karena sudah tahu, kita tidak bisa diam saja asal gaji tidak terpengaruh karena nanti bukannya jadi buaya, tapi mungkin Anda yang dimakan buaya. Hiii... pasti tidak mau kan? Selalu ada alasan di dunia ini dan tidak ada yang merasa salah. Bahkan Dr. Azahari juga kalau hidup lagi, dia tidak merasa bersalah habis ngebom 200 orang bule di Bali. Lihat saja, Amrozi masih yakin bahwa dia benar.
Oleh karena itu, jangan pernah merasa bahwa Mbak Agnes benar dan atasannya salah. Karena dia juga punya alasan tersendiri. Kalau dipikir-pikir, mana yang lebih enak, berbaikan dengan atasan atau bermusuhan dengan atasan. Biar dia galak, toh dia juga manusia, mungkin mulai sekarang, bilang “Selamat pagi Bu! Selamat pagi Pak! Selamat pagi semua!”, sambil berikan senyuman manis mbak Agnes. Senyum kan ibadah. “Bu atau bapak, ini tugas yang diberikan pada saya, ada lagi tidak?” Wah, kalau bisa begitu, pasti atasannya bertanya-tanya, “Kenapa Agnes nih, habis makan buaya yah?”.
Orang hidup itu bukan dinilai dari cantik atau pintarnya, tapi dari gunanya. Daripada Anda hidup tidak banyak gunanya, lebih baik Anda cari suami yang oke saja, tapi toh Anda juga harus berguna buat dia. Jadi masalahnya bukan di atasan Anda, tapi bagaimana Anda bisa berguna buat orang lain. Hal ini berlaku buat siapa saja, bukan hanya buat mbak Agnes yang punya kasus seperti ini. (Goenardjoadi Gunawan)